PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
Latar Belakang
Sebelum
memahami tentang kesejahteraan psikologis, terlebih dahulu mari kita tahu tentang pengertian kata "sejahtera". Dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti
aman sentosa dan makmur, selamat (lepas dari segala macam gangguan, kesukaran,
dan sebagainya).
Kesejahteraan
juga bisa dibedakan menjadi lahiriyah dan batiniyah. Namun, mengukur
kesejahteraan, terutama kesejahteraan batin atau spiritual, bukanlah hal yang
mudah. Kesejahteraan yang bersifat lahir yang biasa dikenal dengan
kesejahteraan ekonomi lebih mudah diukur daripada kesejahteraan batin. Ukuran kesejahteraan lebih kompleks dari kemiskinan. Kesejahteraan harus
dapat memenuhi fisik, psikologis, sosial, dan kerohanian.Konsep PWB (Psychological Well
Being) di perkenalkan oleh
Bernice Neugarten pada tahun
1961, PWB diartikan
sebagai kondisi psikologis
yang dicapai pada saat
seseorang berada pada
usia lanjut (Bernice
Neugarten:1961). Kohman
menyebut Well Being
sebagai pengalaman yang
membuat hidup bahagia. Ryff
Singer menggali PWB
dalam konteks aplikasi
kehidupan dan memberikan batasan
istilah, tidak hanya
pencapaian kebahagiaan tetapi
juga sebagai tujuan yang mengarah kepada kesempurnaan.
Penelitian
yang dilakukan oleh Pasili
dan Canning (dikutip
oleh Lauer Lauer, 2000), dengan responden dari Inggris,
California, dan Australia, ditemukan bahwa
hal utama dari well-being adalah kualitas
dari hubungan sosial antar individu. Well-being menurut Ryff
dan Singer (1996), adalah
suatu konsep yang terbentuk dari
berbagai pengalaman dan Fungsi - fungsi individu
sebagai manusia yang utuh. Psychological well-being tidak hanya merujuk pada kesehatan mental yang bersifat
negative saja, akan tetapi juga
merujuk kepada bagaimana seorang
individu mampu mengembangkan potensi
dan kemampuan yang dimilikinya secara optimal, sebagai mana individu
yang berfungsi baik secara fisik, emosional maupun psikologis (Ryff, 1995).
Teori psychological well-being dikembangkan
oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological
well-being merujuk pada perasaan
seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas
yang dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari
dimana dalam proses
tersebut kemungkinan mengalami
fluktuasi pikiran dan perasaan
yang dimulai dari
kondisi mental negatif
sampai pada kondisi mental
positif, misalnya dari trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological
well-being. Kesejahteraan psikologis
pada individu tidak hanya digambarkan sebagai kondisi dimana tidak
adanya gangguan mental yang terjadi
pada diri seseorang,tetapi juga bagaimana individu
tersebut menyadari sumber
daya psikologis yang ada
di dalam dirinya serta
mampu mengaplikasikannya
(Christopher, 1999; Huppert,2009;
Moeenizadeh & Sala-game, 2010).
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Psychological Well-being?
2.
Apa saja indikator Psychological
well-being?
3.
Apa saja faktor penyebab
Psychological well-being?
4.
Bagaimana konsep psychological
well-being?
5.
Peran Social Support terhadap Psychological
Well-Being?
C.
Tujuan Rumusan
Masalah
1.
Untuk mengetahui apa itu
psychological well being.
2.
Untuk mengetahui apa saja indicator
well-being.
3.
Untuk mengetahui faktor penyebab
psychological well-being.
4.
Untuk mengetahui tujuan
psychological well-being.
5. Untuk
mengetahui konsep-konsep well being.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ryff (1995)
yang menjadi pioner pengkaji kesejahteraan psikologis menyebut psychological
well being sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis
individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologi positif. Ketercapaian
kesejahteraan psikologis ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis
positif dalam prosesnya mencapai aktualisasi diri. Kesejahteraan psikologis
akan dicapai seseorang apabila dia mampu meraih atau mewujudkan kebahagiaan
disertai pemaknaan hidup. [1]
Ryff (1989)
menyataka bahwa psychological well-being merupakan keadaan dimana
seseorang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya untuk menjadi sehat secara
psikologis. Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian
penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan
kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan positif dengan orang lain,
dapat menguasai lingkungannya dalam arti memodifikasi lingkungannya agar sesuai
dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup, serta terus mengembangkan
pribadinya.[2]
Psychological
well-being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan
afek negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan
tantangan-tantangan sepanjang hidup. Individu dengan Psychological
well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan
lingkungan sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain mempunyai
kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya. Selain itu
individu juga dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri sebagaimana
adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan
perilakunya sendiri (Liwarti, 2013). [3]
Ryff (dalam Ryff dan Singer,2008) menekankan dua poin utama dalam
menjelaskan psychological well-being atau kesejahteraan yang menekankan pada
proses pertumbuhan dan pemenuhan individu yang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sekitar . Poin kedua adalah eudaimonic, yang menekankan pada
pengaturan yang efektif dari suatu system fisiologis untuk mencapai suatu
tujuan.[4]
Psychological well-being dapat diartikan sebagai kebahagiaan,
dalam arti bebas dari distress yang dicerminkan oleh keseimbangan afek
positif dan negatif (Diener & Larsen, 1993).
Seperti yang dikatakan oleh Ryff & Keyes (1995) seseorang
dikatakan memiliki kondisi psychological well-being adalah seseorang yang
memiliki kemampuan dalam menerima diri apa adanya, dapat menjalin hubungan yang
hangat dengan orang lain, mandiri terhadap tekanan sosial, dapat mengontrol
lingkungan eksternal, memiliki arti
dalam hidup, serta dapat merealisasikan potensi dirinta secara kontinyu. [5]
Kesejahteraan subjektif (subjective well-being) dapat
diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia. Ketika seseorang menilai
lingkungan kerja sebagai lingkungan yang menarik, menyenangkan, dan penuh
dengan tantangan dapat dikatakan bahwa ia merasa bahagia dan menunjukkan
kinerja yang optimal. Kebahagiaan di tempat kerja adalah bila seseorang merasa
puas dengan pekerjaannya (Wright & Bonnet, 2007).[6]
Psychological well-being adalah hasil evaluasi/ penilaian remaja (Kinderdorf Bandung)
terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya yang dilihat dari keenam dimensinya,
yaitu: self-acceptance, positive relations with others, personal growth,
purpose in life, environmental mastery, autonomy. [7]
1. Self-acceptance: seberapa tinggi
remaja Kinderdorf mampu menilai kelebihan serta kekurangan dalam dirinya secara
positif, mampu menerima dan memandang dirinya dan pengalaman-pengalamannya di
masa lalu secara positif.
2. Positive relations with others:
seberapa tinggi remaja Kinderdorf mampu menilai dirinya dalam menjalin relasi
yang hangat, intim, saling percaya, berempati, dan bekerjasama dengan orang
lain.
3. Personal growth: seberapa tinggi
remaja Kinderdorf mampu menilai dirinya untuk dan telah bertumbuh serta
berkembang, berubah dalam cara yang lebih efektif, mau terbuka pada
pengalaman-pengalaman baru, mampu merealisasikan potensinya.
4. Purpose in life: seberapa tinggi
remaja Kinderdorf mampu menilai dirinya dalam menentukan dan mencapai tujuan
serta cita-citanya secara terarah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dan
mampu melihat masa lalu dan masa kini sebagai sesuatu yang bermakna.
5. Environmental mastery: seberapa
tinggi remaja Kinderdorf mampu menilai dirinya untuk mengenali kebutuhan
personalnya, kemudian berperan aktif dalam mengatur dan mengontrol kejadian
sehari-hari, serta mengefektifkan kesempatan yang ada untuk menciptakan kondisi
tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya tersebut.
6. Autonomy: seberapa tinggi remaja
Kinderdorf mampu menilai dirinya untuk menentukan hidupnya sendiri dan mandiri,
mampu mempertahankan standar pribadinya serta mempertahankannya dari tekanan
sosial dengan cara-cara tertentu, mampu meregulasi tingkah laku dari dalam
(kesadaran sendiri) dan mengevaluasi perilakunya tersebut berdasarkan nilai dan
standar pribadinya tersebut.[8]
Psychological well-being adalah sebuah konsep yang berusaha memaparkan
tentang positive psychological functioning (Ryff, 1989). Belum ada
patokan yang ajeg mengenai pengertian dari psychological wellbeing sendiri.
Namun berdasarkan penelitian terkait yang mendahului kemunculannya, psychological
well-being dikaitkan dengan bagaimana kondisi mental yang dianggap sehat
dan berfungsi maksimal (Ryff, 1989).[9]
Shek mendefinisikan psychological well-being sebagai “keadaan seseorang
yang sehat secara mental yang memiliki sejumlah kualitas kesehatan mental yang
positif seperti penyesuaian aktif terhadap lingkungan, dan kesatuan
kepribadian”.
Perbedaan
penilaian dalam hal ini menimbulkan kesan yang berbeda-beda pada setiap
mahasiswa terhadap kampusnya. Pengukuran penilaian subjektif mahasiswa terhadap
keadaan kampusnya disebut sebagai school well-being yang dikembangkan oleh Konu
dan Rimpela (2002).[10]
Kondisi kampus yang tidak menyenangkan, menekan, dan membosankan akan berakibat
pada pola mahasiswanya yang bereaksi negatif, seperti stres, bosan,
terasingkan, kesepian dan depresi sehingga akan berdampak pada penilaian
individu terhadap penurunan prestasi di kampus. Penilaian tersebut menunjukkan
adanya tanda-tanda penyesuaian diri yang yang terganggu. Individu yang
bersangkutan tampak mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri secara
efektif dalam kehidupan sehari-hari. Individu tersebut tidak dapat menjalankan
peran dan status yang dimilikinya dalam masyarakat (Siswanto, 2007).[11]
Psychological well-being adalah suatu keadaan psikologis yang
lebih sekedar bebas dari penyakit mental, tetapi mengandung arti bahwa individu
memiliki karakter positif pada penerimaan diri, hubungan dengan orang lain,
otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri (Iriani,
2005: 32-33).[12]
B.
Dimensi/Indikator
Psychological
well-being terdiri atas enam dimensi utama yaitu dimensi
(1)
Penerimaan diri
(self acceptance),
Penerimaan diri
yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan
baik pada masa kini dan masa lalunya. Seseorang yang menilai positif diri
sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk
di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri,
berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya.
Sebaliknya, individu yang
menilai negatif diri
sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan
terhadap kondisi dirinya,
merasa kecewa dengan
apa yang telah terjadi
pada kehidupan masa
lalu, bermasalah dengan
kualitas personalnya dan ingin
menjadi orang yang
berbeda dari diri
sendiri atau tidak menerima diri apa adanya. Dimensi ini
merupakan ciri utama
kesehatan mental dan
juga sebagai karakteristik utama
dalam aktualisasi diri,
berfungsi optimal, dan
kematangan. Penerimaan diri yang
baik ditandai dengan
kemampuan menerima diri
apa adanya.
Kemampuan tersebut
memungkinkan seseorang untuk
bersikap positif terhadap diri
sendiri dan kehidupan
yang dijalani. Hal
tersebut menurut Ryff (Ryff:1989) menandakan Psychological Well
Being yang tinggi. Individu
yang memiliki tingkat penerimaan
diri yang baik
ditandai dengan bersikap
positif terhadap diri sendiri,
mengakui dan menerima
berbagai aspek yang
ada dalam dirinya, baik
positif maupun negatif,
dan memiliki pandangan
positif terhadap masa lalu.
Demikian pula sebaliknya,
seseorang yang memiliki
tingkat penerimaan diri yang
kurang baik yang
memunculkan perasaan tidak
puas terhadap diri sendiri,
merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu,
dan mempunyai pengharapan untuk
tidak menjadi dirinya saat ini. Bisa
disimpulkan bahwa penerimaan
diri seseorang bisa
dilihat dari bagaimana individu
memandang keadaan dirinya
secara positif serta
bisa menerima keadaan masa lalunya secara bijak tanpa harus menyalahkan
diri sendiri maupun
menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas permasalahannya.
(2)
Hubungan
positif dengan orang lain (positive relations with others)
Hubungan
positif yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik
dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini
ditandai dengan mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari
orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap
kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami
prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Sebaliknya, individu
yang rendah dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain, terisolasi dan
merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk
berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.[13]
Banyak teori
yang menekankan tentang pentingnya kehangatan, serta hubungan interpersonal
yang dilandasi dengan kepercayaan. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai
komponen utama darikesehatan mental. Kemampuan yang baik dalam dimensi ini juga
mempunyai manfaat dan pengaruh yang sangat positif bagi kondisi kejiwaan
individu,yang dapat menghilangkan
kejenuhan, kepenatan, kesepian, dan akandapat mengurangi ketegangan jiwa dan
emosi individu. Kesimpulannya individu yang memiliki
hubungan yang positif
dengan orang lain adalah
individu yang bisa
membuka diri dengan lingkungannya dan memiliki
keinginan untuk berbagi
kasih sayang dan
kepercayaan dengan orang lain.
(3)
Otonomi (autonomy)
Otonomi
digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah
lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas,
mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku
diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu
mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur
tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan
sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain,
berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta
mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berfi kir dan bertingkah laku
dengan cara-cara tertentu.
Individu yang
memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian
orang lain dalam mengambil keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial
dalam berfikir dan bertingkah laku maka bisa dinilai sebagai individu yang
tidak otonom. Kesimpulannya individu yang otonom adalah individu yang
senantiasa mempercayai kemampuan dirinya dalam menghadapi lingkungan termasuk
bila
(4)
Penguasaan
lingkungan (environmental mastery)
Penguasaan
lingkungan digambarkan dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol
lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi
penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam megatur
lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktifitas eksternal yang berada di
lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan
sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi.
Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memilih atau mengubah
lingkungan sehingga sesuai dengan kebutuhannya.[14]
Sebaliknya
individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami
kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah
atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan
peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff:1995).
Individu dengan
Psychological Well-being yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata
lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya.
Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan
sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan
mampu untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol
terhadap lingkungan luar.
(5)
Tujuan hidup (purpose
of life)
Tujuan hidup
yang memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan
arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam
hidupnya, dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang
memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang
memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup , masa kini
maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup
serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.
Sebaliknya
individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup,
arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk
hidupnya dari kejadian di masalalu, serta tidak mempunyai harapan atau
kepercayaan yang member arti pada kehidupan (Ryff:1995).
Dimensi tujuan
hidup meliputi keyakinan-keyakinan yang memberikan perasaan bahwa terdapat
tujuan dan makna didalam hidupnya, baik masa lalu maupun yang sedang
dijalaninya kini.
Kesimpulannya
individu dalam menjalani hidupnya hendaknya senantiasa memiliki tujuan hidup
yang harus ditempuhnya untuk mencapai suatu harapan yang didambakan, sehingga
dengan begitu individu dapat merasakan makna hidup yang dijalaninya yang bisa
membuatnya untuk bisa lebih menghargai diri sendiri secara proporsional.
(6) Pertumbuhan
pribadi (personal growth).[15]
Individu yang
tinggi dalam dimensi pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang
diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri
yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah
lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan
memiliki pengetahuan yang bertambah.
Sebaliknya,
individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya
memiliki stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa
bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya serta meras tidak mampu dalam
mengembangkan sikap dan tingkah laku baik (Ryff:1995).
Dimensi
pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan
potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini
dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungis secara psikologis.
Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman.
Dimensi ini meliputi kemampuan untuk bertumbuh dan mengembangkan potensi
dirinya secara berkesinambungan.
Kesimpulannya
adalah individu menyadari kemampuannya dalam merencanakan dan melakukan
berbagai kegiatan yang dapat membantunya untuk mengembangkan diri, belajar dari
kesalahannya untuk melakukan perbaikan yang positif secara kontinyu.[16]
C.
Faktor Penyebab
1.
Faktor Yang Mempengaruhi
Dari analisis jurnal yang telah saya lakukan, ditemukan beberapa
variabel yang dipengaruhi well-being, antara lain:
·
Penelitian yang dilakukan oleh : Sukma Adi Galuh Amawidyati & Muhana Sofiati
Utami, yang berjudul : Religiusitas dan Psychological Well‐Being Pada Korban Gempa.
·
Penelitian
yang dilakukan oleh : Bonar Hutapea, yang berjudul: Emotional Intelegence dan
Psychological Well-being pada Manusia Lanjut Usia Anggota Organisasi berbasis
Keagamaan di Jakarta.
·
Penelitian
yang dilakukan oleh : Priscillia Susan Misero & Lydia Freyani Hawadi, yang
berjudul : Adjustment Problems dan Psychological Well-Being pada Siswa
Akseleran (Studi Korelasional pada SMPN 19 Jakarta dan SMP Labschool Kebayoran
Baru).
·
Penelitian
yang dilakukan oleh : Maulidina Rizki & Anita Listiara , yang
berjudul : Penyesuaian Diri dan School Well-Being pada Mahasiswa.
·
Penelitian yang dilakukan
oleh : Susanti, yang berjudul : Hubungan harga diri dan psychological well-being pada wanita
lajang ditinjau dari bidang pekerjaan.
·
Penelitian yang dilakukan oleh: Desi
Indah Fajarwati , yang berjudul : Hubungan
dukungan sosial dan subjective well-being pada remaja SMPN 7 Yogyakarta.
2.
Faktor Yang Dipengaruhi
Dari analisis jurnal yang telah saya lakukan, ditemukan beberapa
variabel yang dipengaruhi well-being, antara lain:
·
Penelitian
yang dilakukan oleh : Lia Aryani, Ika Rahma Susilawati & Ika Adita
Silviandari yang berjudul : Peran
psychological well-being dan social support yang berasal dari rekan kerja
terhadap self-determination guru dalam upaya memperoleh sertifikasi.
·
Penelitian yang dilakukan oleh :
Jati Ariati, yang berjudul : Subjective well-being (kesejahteraan subjektif)
dan kepuasan kerja pada staf pengajar (dosen) di lingkungan fakultas psikologi
universitas diponegoro.
·
Penelitian yang dilakukan oleh : Titi Angraeni & Ika Yuniar Cahyanti,
yang berjudul : Perbedaan Psychological Well-Being Pada Penderita Diabetes Tipe
2 Usia Dewasa Madya Ditinjau dari Strategi Coping.
1. Penyesuaian diri
2. Hubungan Dukungan Sosial
3. Harga diri
4. Adjustment problems
5. Religiusitas
6.
Emotional intelegence
|
1. Social support
2. Self Determination
3. Strategi coping
4.
Kepuasan Kerja
|
WELL
- BEING
|
D.
Konsep
D.
Konsep Psychological Well-Being
Konsep
PWB adalah konsep yang secara kontemporer banyak dikembangkan dari konsep
utamanya yakni “Wellbeing”. Secara umum pwb digunakan sebagai hasil dalam studi
penelitian secara empiris. Kahneman menyebut Well being sebagai pengalaman yang
membuat hidup bahagia. Ryff & Singer menggali Well being dalam konteks
aplikasi kehidupan dan memberikan batasan istilah, tidak hanya pencapaian
kebahagiaan tetapi juga sebagai tujuan yang mengarah kepada kesempurnaan. [17]
E.
Peran Social
Support terhadap Psychological Well-Being
Kehadiran orang lain yang memberikan dukungan
akan sangat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Menurut Sarafino,
dukungan sosial merujuk pada kenyamanan, kepedulian, harga diri atau segala
bentuk bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok (Purba dkk,
2007). Jika kita saling mendukung, saling membantu dan saling memberikan
informasi, syarat-syarat sertifikasi yang harus dipenuhi tentu akan lebih mudah
dicapai. Peran social support juga dapat membantu meyakinkan bahwa individu
tersebut mampu untuk memperoleh sertifikasi. Manusia memerlukan keberadaan
orang lain untuk saling memberi penilaian, membantu, mendukung dan bekerjasama
dalam menghadapi tantangan kehidupan. Bantuan kelompok individu terhadap
individu lain atau kelompok lain disebut dukungan sosial (Darmasaputra &
Satiningsih, 2013).
Menurut Winnubst (Darmasaputra &
Satiningsih, 2013) dukungan sosial lebih cenderung dianggap sebagai kognisi
individual yang berawal dari segi gejala lingkungan yang obyektif dan dukungan
sosial merupakan persepsi perseorangan terhadap dukungan potensial atau merasa
membantu (perceived helpfulness) dan merasa dibantu (supportiveness).
Hubungan antar personal yang menimbulkan seseorang membutuhkan pertolongan,
dukungan, dan kerja sama dengan orang lain akan memberikan dukungan sosial pada
individu yang bersangkutan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Ahola dan Park (1996), menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara dukungan sosial yang berasal dari pertemanan, dengan self-determination
terhadap pengurangan stres dalam kehidupan dan masalah fisik.[18]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological
well-being merupakan keadaan dimana seseorang memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya untuk menjadi sehat secara psikologis. Psychological
well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu
dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu
membina hubungan positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam
arti memodifikasi lingkungannya agar sesuai dengan keinginannya, memiliki
tujuan hidup, serta terus mengembangkan pribadinya.
2.
Psychological mempunyai 6 indikator
yaitu: 1. Self-acceptance 2. Positive
relations with others 3. Personal growth 4. Purpose in life 5.
Environmental mastery 6. Autonomy.
3.
Dan faktor-faktor yang mempengaruhi
dan dipengaruhi antara lain :
“Penelitian
yang dilakukan oleh : Jati Ariati, yang berjudul : Subjective well-being
(kesejahteraan subjektif) dan kepuasan kerja pada staf pengajar (dosen) di
lingkungan fakultas psikologi universitas diponegoro.”
“Penelitian yang
dilakukan oleh : Sukma Adi Galuh Amawidyati
& Muhana Sofiati Utami, yang berjudul : Religiusitas dan Psychological Well‐Being Pada Korban Gempa.”
4.
Konsep PWB adalah konsep yang secara
kontemporer banyak dikembangkan dari konsep utamanya yakni “Wellbeing”. Secara
umum pwb digunakan sebagai hasil dalam studi penelitian secara empiris.
Kahneman menyebut Well being sebagai pengalaman yang membuat hidup bahagia.
5.
Kehadiran orang lain yang memberikan
dukungan akan sangat membantu untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Hubungan
antar personal yang menimbulkan seseorang membutuhkan pertolongan, dukungan,
dan kerja sama dengan orang lain akan memberikan dukungan sosial pada individu
yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. 1995. The Structure of
Psychological Well-Being: Revisited
Ryff, Carol.
(1989). Happines is everything, or is it? Exploration on the meaning of
psychological well-being (on-line). Journal of Personality and Social
Psychology; 57, 1069-1081. Diunduh dari http://mina.education.ucsb.edu/janeconoley/ed197/documents/ryffHappinessiseverythingorisit.pdf.
Tanggal 15 Juli 2013. Pukul 12:01:14
Liwarti, (2013). Hubungan Pengalaman Spiritual Dengan Psychological
well-being Pada Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Sains Dan
Praktik Psikologi 2013, Volume I (1), 77 – 88. Diunduh dari : ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/1350/1445
. Tanngal 24 Februari 2013. Pukul : 14:04:12
http://etheses.uin-malang.ac.id/1788/5/09410057_Bab_2.pdf
Siswanto.
(2007). Kesehatan mental: Konsep, cakupan, dan perkembangannya. Yogyakarta:
Andi Offset.
Iriani, R.D., Matahari, D., Lianawati (2005). Hubungan antara
Kesejahteraan Psikologis dan Prasangka
Rasial (Studi
pada Dewasa Muda Warga Negara Indonesia Keturunan). Phronesis, 7 (1),
28-49
Psychological
Well-Being: Revisited
[2] Ryff, Carol. (1989). Happines is everything, or is
it? Exploration on the meaning of psychological well-being (on-line). Journal
of Personality and Social Psychology; 57, 1069-1081. Diunduh dari
http://mina.education.ucsb.edu/janeconoley/ed197/documents/ryffHappinessiseverythingorisit.pdf.
Tanggal 15 Juli 2013. Pukul 12:01:14
[3] Liwarti, (2013). Hubungan Pengalaman Spiritual Dengan Psychological
well-being Pada Penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Sains Dan
Praktik Psikologi 2013, Volume I (1), 77 – 88. Diunduh dari : ejournal.umm.ac.id/index.php/jspp/article/view/1350/1445
. Tanngal 24 Februari 2013. Pukul : 14:04:12
[4] Ryff, C.D., & Singe, B.H. (2008). Know Thyself and
Become What You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Well-Being. Journal
of Happiness Studies 9:13-39
[5]
Ryff, D., & Keyes, C. L. (1995). The Structure of psychological well-being
revisited. Journal of personality and social psychology, 69. 719-727.
[6] Wright, T.A. & Bonnet, D.G. 2007. Job Satisfaction
and Psychological Well-Being as Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal
of Management, 33: 141-161.
[7] Kinderdorf.
1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in
Psychological Science”.
[8] Kinderdorf.
1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological
Science”.
[9]
Ryff. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on
the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and
Social Psychology, 57(6), 1069 – 1081
[10] Konu,
A, & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: A conceptual model. Journal
of health promotion international. 17. 79-87.
[11] Siswanto.
(2007). Kesehatan mental: Konsep, cakupan, dan perkembangannya. Yogyakarta:
Andi Offset.
[12]
Iriani, R.D., Matahari, D., Lianawati (2005). Hubungan antara
Kesejahteraan Psikologis dan Prasangka
Rasial (Studi pada Dewasa Muda Warga
Negara Indonesia Keturunan). Phronesis, 7 (1), 28-49
[13]
http://etheses.uin-malang.ac.id/1788/5/09410057_Bab_2.pdf
[14]
http://etheses.uin-malang.ac.id/1788/5/09410057_Bab_2.pdf
[15] Lia
Aryani, Ika Rahma Susilawati &Ika Adita Silviandari , PERAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING DAN SOCIAL SUPPORT YANG BERASAL DARI REKAN KERJA TERHADAP
SELF-DETERMINATION GURU DALAM UPAYA MEMPEROLEH SERTIFIKASI, Jurnal psikologi.
Hal - 05
[16]
http://etheses.uin-malang.ac.id/1788/5/09410057_Bab_2.pdf
[17]
http://etheses.uin-malang.ac.id/1788/5/09410057_Bab_2.pdf
[18] Lia Aryani, Ika Rahma Susilawati &Ika Adita
Silviandari , PERAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DAN SOCIAL SUPPORT YANG BERASAL
DARI REKAN KERJA TERHADAP SELF-DETERMINATION GURU DALAM UPAYA MEMPEROLEH
SERTIFIKASI, Jurnal psikologi.
Komentar
Posting Komentar