Emosi dalam kajian psikologi lintas budaya

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Pola tingkah laku manusia merupakan hal unik untuk dipelajari. Salah satu aspek dari perilaku manusia yaitu emosi. Menurut menurut Fitriyah, emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, atau reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Dapt dipahami juga respon pertama terhadap stimulus, kadang kebanyakan orangmenilai sebagai hal yang positif dan negatif.
Selanjutnya yang sering menjadi perdebatan yaitu apakah emosi diseluruh dunia itu sama atau bisa disebut universal, ataukah ada perbedaan yang khas karena pengaruh kultural atau budaya ditempat individu itu tinggal. Kemudian yang menjadi pendalaman materi emosi dalam lingkup lintas budaya yaitu, bagaimana individu tiap kultural memaknai sebuah emosi, apakah semua ekspresi emosi itu sama atau dapat dikatakan universal, dan yang tidak kalah penting bagaimanakah proses pemaknaan emosi yang ditampilkan dimaknai oleh orang lain.
Dari sinilah muncul berbagai penilitian yang gencar dilakukan oleh beberapa peneliti. Misalnya David Matsumoto yang meneliti ,dan juga Paul Ekman yang meneliti apakah ekspresi emosi itu universal ataukah memiliki ciri khas dari budaya dan kultural.







Bab II
Pembahasan
A.    Konsep dan definisi emosi
Emosi adalah suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai siatu reaksi psikologis dalam bentuk tingka laku gembira, bahagia, sedih, haru, cinta, dan sejenisnya. Hathersal merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh.
Diantara berbagai budaya-budaya yang memiliki kata untuk emosi, kata tersebut bisa saja tidak memiliki makna yang sama dengan kata “emotion” dalam bahasa Inggris. Sebagai contoh Matsuyama,Hama, Kawamura dan Mine menganalisis kata-kata emosional dalam bahasa Jepang sebagai berbagai macam emosi (seperti angry dan sad).sedangkan dalam budaya Amerika emosi (seperti penuh pengertian / considerate dan beruntung/lucky). Orang Samoa juga tak punya kata untuk emosi namun memiliki sebuah kata (lagona) yang menunjuk pada perasaan dan sensasi.
Perbedaan – Perbedaan Kultural Dalam Mendefinisikan Dan Memahami Emosi
Sebelum kita mempelajari perbedaan atau kesamaan emosi dari berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda. Perlu kita cermati terlebih dahulu, apakah ada perbedaan antar budaya dalam memberikan definisi dan memahami emosi. Menurut Rusell (1991) dalam matsumoto menelaah berbagai literature lintas-budaya dan antropologi menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam mendefinisikan dan memahami emosi, yang terkadang sangat mencolok. Hasil telaah Rusell ini dapat dijadikan landasan yang kuat dalam membahas penyataan ini.
Konsep dan Definisi Emosi
Dalam mendefinisikan Emosi, psikolog Amerika kerap mengibaratkan bahwa yang dibicarakan adalah sesuatu yang sama untuk seluruh manusia. Telah banyak studi yang mengatakan bahwa di setiap kebudayaan memiliki konsep untuk mendefinisikan emosi. Brandt dan Boucher (1986), mengkaji tentang depresi di delapan budaya yng berbeda. Yang dikaji termasuk bahasa Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Spanyol dan Sinhalese. Yang mana hasil kajiannya menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki kata untuk menggambarkan emosi yang ada di budaya tersebut (dalam Matsumoto).
Namun tidak semua budaya memiliki konsep untuk emosi seperti orang Tahiti dan orang Ifaluk, pada kedua budaya tersebut tidak ditemukan kata untuk menggambarkan emosi. Bahkan di antara budaya-budaya yang ada di dunia yang memiliki kata untuk konsep emosi, bisa saja tidak memiliki arti yang sama dengan kata “emotion” dalam bahasa Inggris. Atau dapat diartikan bahwa budaya mereka memiliki konsep untuk menggambarkan emosi namun tidak sama maknanya dengan kata “emotion” dalam bahasa Inggris.
Kategorisasi atau Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga memiliki cara yang berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosa kata bahasa Inggris, seperti angry, joy, sadness, liking, dan loving memiliki persamaan dalam berbagai bahasa dan budaya. Namun juga banyak kosakata bahasa Inggris yang tidak memiliki persamaan di bahasa dan budaya lain. Ada pula kosakata emosi dalam budaya lain juga tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris. Bahasa Jepang misalnya, ada kata itoshii, ijarashii dan amae. Kata – kata tersebut memiliki makna, dalam urutannya, rasa rindu orang tercinta yang tidak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan tergantungan. Kata – kata tersebut tidak memilki padanan dalam bahasa Inggris.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memiliki cara yang berbeda dalam memilah-milah dunia emosi. Dengan demikian, selain konsep emosi itu sendiri yang tidak bebas budaya atau khas-budaya, demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka atau melabeli emosi.
Lokasi Emosi
Salah satu komponen terpenting emosi dalam psikologi Amerika adalah pengalaman subjektif atas emosi, pengalaman emosi di dalam diri. Kebudayaan – kebudayaan memiliki khas budaya dalam memandang tentang tempat atau asal mula emosi.
Di Amerika, kita biasa menempatkan perkara emosi dan perasaan batin di jantung (Heart). Bahkan di antara budaya – budaya juga menunjuk tubuh sebagai lokasi emosi, lokasi persisnya bervariasi. Orang Jepang, misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara – abdomen atau perut. Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati (liver) (Howell, 1981 dalam Matsumoto).
Pemahaman kita tentang lokasi atau asal emosi pun tampak terkait dengan budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.
(ida) Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal yang amat kental, karena psikologi Amerika memandang perasaan batin (inner feeling) yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi.
Bagi orang Ifaluk di Mikronesia maupun orang Tahiti emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang Amae, yang biasanya dianggap sebagai suatu emosi yang penting dalam kebudayaan Jepang, menunjuk pada hubungan saling tergantung (interdependen) antara dua orang.
Uraian diatas dengan jelas menunjukkan bahwa ada banyak perbedaan kultural dalam konsep, pelabelan, lokasi dan makna emosi meski terdapat konsistensi lintas budaya yang patut diperhitungkan. Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi tentang emosi lintas budaya dengan kajian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa ahli psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa tercakup sebagai suatu emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Bila misalnya seorang peneliti hendak meneliti ekspresi marah lintas budaya, ia harus mengasumsikan bahwa setiap budaya yang hendak dikajinya marah merupakan suatu emosi, dan bahwa aspek ekspresif dari emosi itu setara di semua budaya.
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah dan bukan tanpa alasan. Ekspresi wajah dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi anger (marah), disgust (jijik), fear (takut), happiness (senang), sadness (sedih) dan surprise (terkejut). Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau innate, serupa untuk semua orang dari segala budaya atau etnitas.
Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspersi emosi. Tentu saja keuniversalan ekspresi emosi ini saja tidak bisa menjelaskan adanya perbedaan kultural. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan. Aturan ini pada intinya mengatur kecocokan kapan ditampilkannya masing-masing emosi tersebut, tergantung pada situasi sosial. Inilah yang kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display rules) (Ekman, 1972).
Contoh eksperimen : anggota kedua kebudayaan disuguhkan film yang amat stressfull (luka bakar, amputasi, operasi sinus, proses melahirkan dengan forsep) dalam dua kondisi sosial yang berbeda. Dalam kondisi pertama menonton film tersebut sendirian, dalam kondisi kedua partisipan menonton film itu bersama dengan seorang eksperimenter yang berstatus lebih tinggi. Selama eksperimen ekspresi wajah direkam untuk mengetahui perbedaan yang mencolok antara dua partisipan tersebut. Dalam kondisi pertama, baik orang Amerika maupun orang Jepang menunjukkan ekspresi jijik, marah, takut dan sedih pada saat-saat yang sama. Namun, dengan kehadiran si eksperimenter yang berstatus tinggi dalam kondisi yang kedua, muncul beberapa perbedaan kultural yang mencolok. Orang Amerika tetap menunjukkan emosi negatif mereka, sedangkan orang Jepang terus menyunggingkan senyum selama proses tersebut.
Temuan-temuan ini menunjukkan bagaimana ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan berpadu dengan aturan-aturan pengungkapan yang bersifat kultural dalam menghasilkan ekspresi-ekspresi emosi dalam interaksi.
(iir) Karena ekspresi dari beberapa emosi bersifat universal, maka pengenalan (recognition) dari emosi-emosi tersebut seharusnya universal pula. Inilah yang ditemukan oleh Eikman dan Izard. Semenjak penerbitan awalnya di awal 1970-an, temuan-temuan ini tak tergoyahkan, sampai pada tahun 1980-an penelitian lintas budaya mulai mendokumentasikan bagaimana kebudayaan juga mempengaruhi persepsi emosi.[1]
Ekman dkk melakukan salah satu penelitian pertama yang menunjukan bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsi emosi. Mereka memperlihatkan foto-foto ke enam emosi universal pada pengamat dari sepuluh budaya. Para subjek dari sepuluh budaya itu sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan, yang menunjukan universalitas rekognisi emosi. Namun tetap terdapat perbedaan antar budaya dalam hal seberapa kuat mereka mempersepsi emosi. Tes ini menunjukan budaya Asia menilai lebih lemah intensitas emosi-emosi tersebut dibanding budaya-budaya non-Asia. Matsumoto dan Ekman mereplikasikan temuan ini, menunjukan bahwa perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsi tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya.
Di bagian lain dari penelitian lintas ras pada subjek Amerika, subjek-subjek Kaukasia, kulit hitam, Asia dan Hispanik (latin) melihat contoh-contoh ekspresi wajah emosi universal dan diminta untuk memberi penilaian secara skala tentang seberapa kuat intensitas emosi menurut persepsi mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam mempersepsi marah dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, mempersepsi wajah Kaukasia dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, serta mempersepsi ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi dapi pada orang asia. Orang hispanik juga mempersepsi takut lebih intens dibandingkan orang Asia.
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli emosi juga tampak dalam data dari penelitian semula Ekman dan Izard tentang sifat universal emosi. Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi? Beberapa ahli psikologi percaya budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode (dicoding Rules) (BUCK, 1984). Aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang disuatu budaya memandang dan menginterpretasi ekspresi-ekspresi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan dipelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.
Menuju teori emosi lintas budaya (zuli)
Kebudayaan punya peran sangat penting dalam membentuk emosi manusia. Tapi sebelumnya, kita harus mencari cara yang lebih baik untuk mengorganisir  dan memahami pengaruh kultural pada emosi. Selain itu sebelum kita menemukan “fakta-fakta” baru tentang perbedaan kultural dalam emosi, kita perlu mencari cara-cara yang bermakna untuk memahami, memprediksi, dan menafsirkan perbedaan kultural dengan mengambil pendekatan yang secara teoritis relevan dengan budaya dan emosi. Hal itu akan mempermudah kita untuk memahami budaya dan emosi.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnis atau kebangsaan. Budaya bukan konstruk biologi, melainkan merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita perlu beranjak dari kebiasaan mengklasifikasikan orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik, Asia dll. Kita perlu menemukan cara yang bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan etnisitas atau kebangsaan.
Untuk itu pendekatan yang digunakan difokuskan pada konstruk sosio-psikologis yang dikenal sebagai “individualisme versus kolektivisme” sebagai ukuran kebudayaan. Individualisme mengacu pada sejauh mana sebuah kebudayan mengayomi kebutuhan, keinginan dan hasrat individual diatas kebutuhan kelompok. Kolektivisme mengacu pada sejauh mana sebuah kebudayaan menekankan pada pengorbanan kebutuhan individu demi kebutuhan kelompok. Salah satu keuntungan utama mendefinisikan budaya dengan individualisme versusu kolektivisme adalah bahwa hal ini merupakan suatu konstruk yang benar-benar sosio-psikologis, tidak terbatasi oleh etnis maupun kebangsaan. Dengan menggunakan dimensi ini, kita bisa meneliti bagaimana berbagai kelompok berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana individu di dalam kelompok tersebut berbeda antar mereka sendiri.
Orang yang indivisualistik, misalnya, cenderung lebih gampang mengekspresikan emosi-emosi negative (marah, jijik) pada teman dan keluarga mereka daripada orang kolektifistik. Dibandingkan dengan orang yang kolektifistik, individualis juga lebih mudah mengekspresikan emosi positif (senang, ketertarikan) pada orang asing dan di depan umum. Orang yang kolektifistik akan lebih mudah mengekspresikan emosi positif kepada teman dan keluarga mereka dan emosi negatif kepada orang-orang yang tak mereka kenal.




[1] Matsumoto, David. Pengantar Psikologi Lintas Budaya; Buku teks utama dalam kelas psikologi Lintas Budaya tingkat awal. (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2004). Hal 190

Komentar