MASLAHAH MURSALAH
Tujuan Penulisan
Rumusan
masalah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya merupakan sarana untuk
mengungkapkan tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Untuk mengetahui pengertian
maslahah mursalah.
2.
Untuk mengetahui dasar hukum
maslahah mursalah.
3.
Untuk mengetahui apa saja
macam-macam maslahah mursalah.
4.
Untuk mengetahui apa saja
syarat-syarat maslahah mursalah.
5.
Untuk mengetahui bagaimana
kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum
Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lughat
(fitologi) terdiri dari dua kata, yaitu maslahah mursalah. Kata maslahah
berasal dari kata kerja bahasa arab صَلَحَ – يُصْلُحٍ menjadi صُلْحًا atau مَصْلَحَة yang berarti
sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata
kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu : - اِرْسَالاً- مُرْسِلٌ يُرْسِلُ اَرْسَلَ - menjadi مُرْسَلً yang berarti
diutus, dikirim, atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
maslahah mursalah yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga berarti, suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (bermanfaat).
Sedangkan pengertian menurut
para ulama diantaranya adalah:
1.
Menurut Muhammad Hasbi
As-Siddiqi, maslahah ialah: memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak
segala sesuatu yang merusakkan makhluk.
2.
Menurut Imam Ar-Razi maslahah
adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah)
kepada hambaNya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya,
dan harta bendanya.
3.
Sedangkan menurut Imam
Al-Ghazali, maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madharat.[1]
Menurut etimologi maslahah
berarti kepentingan hidup manusia, sedangkan mursalah berarti sesuatu yang
tidak ada ketentuan nash syari’at yang menguatkan atau membatalkannya. Maslahah
mursalah atau disebut dengan istishlah secara terminologi menurut ulama-ulama
usul, adalah
maslahah yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang
membenarkan atau yang membatalkannya. Metode ini merupakan salah satu cara
dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya
sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur
kemaslahatan hidup manusia. Prinsipnya, menarik manfaat dan menghindari
kerusakan dalam upaya memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil
syara’.[2]
Kedudukan dan keberadaan maslahah
mursalah ini sangat penting dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan
kemajuan umat manusia, sehubungan dengan meninggalnya Rasulullah dan
terhentinya wahyu Ilahi.[3]
Dasar
Hukum Maslahah Mursalah
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai
diberlakukannya teori maslahah mursalah, diantaranya yaitu:
1. Al-Qur’an.
Diantara
ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah
SWT dalam QS. Al Anbiya: 107.
وَمَاأَرْسَلْنَاكَ
إلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk
menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Maksudnya,
Allah telah menciptakan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam,
artinya Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang. Barangsiapa menerima
rahmat ini dan berterimakasih atas berkah ini, dia akan bahagia di dunia dan di
akhirat. Namun, barangsiapa yang menolaknya
maka dunia dan akhirat akan lepas darinya.
Ada
pula dalam QS. Yunus: 57.
ياَأَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌلِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh
bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Maksudnya,
Allah berfirman, memberikan karunia kepada makhluk-Nya yaitu berupa al-Qur’an
yang Agung, yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya yang mulia. Dari
kesamaran-kesamaran dan keraguan yaitu menghilangkan kekejian dan kotoran yang
ada di dalamnya. Hidayah dan rahmat Allah dapat dihasilkan dengan adanya
al-Qur’an. Dan itu (rahmat) hanyalah untuk orang-orang yang beriman kepadaNya,
membenarkan dan meyakini apa yang ada didalamnya.
2. Hadits.
Hadits
yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah mursalah
adalah sabda nabi Muhammad SAW. ”Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling
memadhorotkan”. (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini
berkualitas hasan).
3. Perbuatan
Para Sahabat dan Ulama Salaf.
Para
sahabat seperti Abu Bakar as Shidiq, Utsman Bin Affan dan para imam madzhab
telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah.[4]
Contoh
dari Abu Bakar yaitu para sahabat memilih dan mengangkat beliau sebagai
pengganti setelah Nabi Muhammad wafat. Seorang khalifah dubutuhkan pada saat
itu, dan ini merupakan suatu maslahat yang sangat besar. Namun hal ini tidak di
temukan dalil khusus dari teks syari’at yang membenarkan atau melarangnya. Sedangkan
contoh dari Utsman bin Affan yaitu mengumpulkan al-Qur’an ke dalam beberapa
mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Alasan
mereka mengumpulkan ini tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga
al-Qur’an dari kepunahan atau kemutawatirnya karena meninggalnya sejumlah besar
hafidz dari generasi sahabat. Kehujjahan maslahah mursalah juga didukung
dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab
Khallaf dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqh beliau menulis:
Al-maslahat
al-mursalat yakni mathlaqat adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh
Allah secara tegas untuk realisasinya dan tidak ada dalil syar’i baik yang
memerintahkan maupun yang melarangnya. Disebut juga muthlaq karena kemaslahatan
itu tidak terikat pada dalil yang memerintahkan atau yang melarangnya.[5]
Kesimpulannya, bahwa kemaslahatan
manusia itu selalu aktual dan tidak ada habisnya, oleh karena itu, jika tidak
ada syari’ah hukum yang berkenaan dengan masalah baru yang terus berkembang
sementara pembentukan hukum hanya berdasarkan pada prinsip yang mendapat
pengakuan syar’i saja, maka pembentukan hukum akan terhenti dan kemaslahatan
yang dibutuhkan manusia disetiap masa dan tempat akan terabaikan.
Menurut
ulama Hanafiyyah, untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil, disyaratkan
maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Menurut para ulama Malikiyyah dan
Hanabilah menerima maslahah mursalaha sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
dengan syarat sejalan dengan kehendak syara’ dan jenisnya didukung nash secara
umum, dan kemaslahatan menyangkut kepentingan orang banyak bukan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.[6]
Macam-macam
Maslahah Mursalah
Singkatnya, maslahah mursalah adalah kemaslahatan atau
kemanfaatan (bagi manusia) yang tidak ada ketetapannya dalam nash yang
membenarkan atau membatalkannya.[7]
Sedangkan Ulama’ ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:
1. Maslahah
Dharuriyah.
Yaitu
segala hal yang menjadi sendi eksisitensi kehidupan manusia, harus ada demi
kemaslahatan mereka. Bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara
baik, kehidupan manusia akan kacau, baik di dunia maupun di akhirat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara yang merupakan pokok
perkara yang harus dilindungi, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Maslahah
Hajjiyah.
Adalah
segala sesuatu yang sangat dihajatkan manusia (dibutuhkan oleh masyarakat)
untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Dalam hal ibadah,
islam memberikan rukhshah atau keringanan bila seorang mukallaf mengalami
kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya diperbolehkan
seseorang tidak berpuasa dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang
dalam perjalanan yang jauh. Contoh lain, diperbolehkannya seseorang meng-qhasar
sholat bila ia sedang dalam berpergian jauh dan itu sudah terpenuhinya
syarat-syarat diperbolehkannya untuk meng-qhasar sholat.
3. Maslahah
Tahsiniyah.
Ialah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan
yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah juga masuk dalam
lapangan bidang ibadah, adat dan muamalah. Lapangan bidang ibadah, misalnya
kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik ketika
akan sholat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah seperti
sholat sunnah, puasa sunnah, besedekah dan lain-lain. Lapangan adat, misalnya
bersikap sopan santun ketika makan dan minum. Dalam muamalah, misalnya larangan
menjual barang-barang yang bernajis seperti khamar, makan makanan yang sehat,
baik serta halal dan menghindari makanan yang haram.[8]
Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan hukum bila memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1. Masalah
itu bersifat esensial (mendasar) atas dasar penelitian, observasi serta melalui
analisis dan pembahsan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalah
tersebut benar-benar memberi manfaat dan menghindari mudharat.
2. Masalah
itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi bermanfaat untuk
orang banyak.
3. Masalah
itu tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan memenuhi kepentingan hidup
manusia serta menghindarkannya dari kesulitan.[9]
Kedudukannya
Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat
mengenai kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum.
1. Jumlah
ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan:
a. Bahwa
dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak
diperlihatkan oleh syariat melalui petunjuknya.
b. Pembinaan
hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu
bagi keinginan hawa nafsu.
2. Imam
Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i
boleh berpegang kepada maslahah mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan
dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan:
a. Kemaslahatan
manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum
dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i (Allah),
tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat
yang berbeda-beda.
b. Para
sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk
mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya membuat
penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat Al-Qur’an dan
sebagainya.[10]
Kemaslahatan
yang dapat dijadikan hujjah dalam menginstibatkan hukum harus memenuhi syarat
yang sudah di sebutkan di atas.
Kesimpulan
Maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketetapannya dalam nash yang membenarkan atau yang membatalkannya.
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai
diberlakukannya teori maslahah mursalah, diantaranya yaitu: al-Qu’an, hadits, perbuatan
para sahabat dan ulama salaf.
Macam-macam
maslahah mursalah yaitu: maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah, dan maslahah tahsiniyah.
Syarat-syarat maslahah mursalah dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan hukum bila memenuhi tiga syarat sebagai berikut: penetapan
hukum terhadap masalah tersebut benar-benar memberi manfaat dan menghindari
mudharat; masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi
bermanfaat untuk orang banyak; masalah itu tidak bertentangan dengan nash
Al-Quran dan memenuhi kepentingan hidup manusia.
Kedudukan
maslahah mursalah sebagai sumber hukum mengenai beberapa perbedaan pendapat
dari para ulama yang disertai dengan alasannya tersendiri. Dan ada pula Imam
Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’i
boleh berpegang kepada maslahah mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan
dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Tentunya mereka mempunyai alasan tertersendiri pula.
DAFTAR PUSTAKA
M.
Khamzah et. al. Hikmah. Sragen: Akik Pustaka, 2015.
Ridwan. Fiqih
Politik. Yogyakarta: FH UII Press, 2007.
Saebani,
Beni Ahmad. Fiqih Siyasah. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
[4]Hafidzahmuda. Maslahah
Mursalah....
https://hafidzahmuda.wordpress.com/2012/05/22/maslahah-mursalah/?_e_pi=7%2CPAGE_AD10%2AC1064652368. diakses pada tanggal 26
Nopember 2016.
http://ilmutentangagama.blogspot.com/2016/dasar-hukum-maslahah-mursalah.html, diakses pada tanggal 30
Nopember 2016.
[8] Elsandra. Makalah
Ushul Fiqih Maslahah Mursalah.....
http://lalabulet.blogspot.com/2015/06/makalah-ushul-fiqih-maslahah-mursalah.html diakses pada tanggal 26
Nopember 2016.
[9] Beni Ahmad Saebani. Fiqih
Siyasah (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal 77.
[1]Elsandra.
Makalah Ushul Fiqih Maslahah Mursalah.....
http://lalabulet.blogspot.com/2015/06/makalah-ushul-fiqih-maslahah-mursalah.html
diakses pada tanggal 26 Nopember 2016.
Komentar
Posting Komentar