PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada saat ini perkembangan ilmu Psikologi mulai bermunculan
cabang-cabangnya. Seperti Psikologi Positif, Psikologi Islami, Psikologi Budaya
dan psikologi-psikologi lainnya. Tidak terkecuali Psikologi Lintas Budaya. Di
satu sisi psikologi barat memang dibutuhkan, namun di lain pihak karakteristik
kultural budaya setempat juga mulai mendapatkan perhatian. Artinya, untuk
memahami perilaku manusia di belahan bumi lain harus digunakan basis kultur
dimana manusia itu hidup. Selain itu, diperlukan juga adanya integrasi antara
perspektif Barat dan Timur untuk mencari kesamaan-kesamaan dan atau menjawab
permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat setempat.
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus
ranah individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu
dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar
pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah
aturan-aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada
kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus
menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan
bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok
individu itulah yang disebut budaya. Manusia tidak dapat
dilepaskan dari budaya. Sebagai ilmu yang mempelajari manusia, psikologi juga
mempelajari budaya yang terkait dengan manusia itu sendiri. Budaya merupakan
konteks dimana manusia bereperilaku,
kita dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai manusia dan hal-hal
yang melatar belakangi munculnya tingkah laku pada manusia tersebut.
1.2 Tujuan kita belajar
2.1. Mengetahui definisi psikologi lintas budaya.
2.2. Mengetahui sejarah munculnya psikologi
lintas budaya.
2.3. Mengetahui tujuan psikologi lintas budaya.
2.4. Mengetahui hubungan psikologi lintas
budaya dengan disiplin ilmu lain.
2.1 Definisi Psikologi Lintas Budaya
Segall, Dasen, dan Poortinga, psikologi lintas budaya adalah kajian
ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan
cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial
budaya.[1]
psikologi lintas-budaya tidak hanya terkutat
dengan keragaman, tetapi juga keseragaman (uniformity): apa yang secara
psikologis dapat dianggap sebagai sesuatu yang umum atau universal pada spesies
manusia.
Menurut hemat saya dari pendapat tokoh diatas bahwa psikologi lintas-budaya
adalah sebuah studi komparatif dan kritis mengenai pengaruh-pengaruh budaya
pada psikologi manusia. Studi-studi lintas budaya membahas dan menguji tingkah
laku manusi a dalam berlatar belakang, misalnya jenis kelamin, ras, suku, kelas
sosial, gaya hidup. Hal ini membuat pengetahuan kita mengenai tingkah laku
manusia dan budaya tempat manusia tersebut berada menjadi semakin kaya.
Budaya adalah suatu set dari sikap, perilaku dan symbol-simbol yang
dimiliki bersama oleh manusia dan biasannya dikomunikasikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Manusia tidak lahir dengan membawa budayannya,
melainkan budaya tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya orang
tua kepada anak, guru kepada murid, pemerintah kepada rakyat.[3]
2.2 Sejarah
Perkembangan Psikologi Lintas Budaya
Psikologi
lintas budaya muncul karena adanya rasa ketidak puasa dari para peneliti
psikologi di Barat tentang pernyataan bahwa teori psikologi yang dikembangkan dalam
satu kebudayaan barat bersifat universal. Pada awalnya keuniversalan teori
psikologi yang berasal dari barat banyak mendapat dari para antropolog yang
melakukan penelitian di berbagai kebudayaan non-Barat. Salah satu contoh klasik
yang di kritik adalah kritik Malinowski terhadap teori oedibus complex
dari Freud yang pada waktu itu dianggap berlaku universal. Malinowski menemukan
bahwa anak laki-laki remaja di kepulauan Trobrian, Papua Nugini, memiliki rasa
benci terhadap paman laki-laki dari pihak ibu dan bukan terhadap ayah mereka
seperti yang ditemukan Freud di Wina. Berdasarkan temuannya ini, Malinowinski
mwngatakan bahwa rasa benci anak laki-laki remaja di Wina kepada ayah mereka
bukan disebabkan persaingan untuk memperoleh cinta ibu ( oedibus complex )
tetapi karena ayah adalah penegak disiplin seperti halnya seorang paman adalah
penegak disiplin bagi anak di Kepulauan Trobriand.
Pengakuan bahwa dibutuhkan penelitian lebih dari satu budaya untuk
menyusun teori psikologi yang bersifat universal ternyata sangat lambat
prosesnya. Salah satu penyebabnya adalah masih adanya asumsi bahwa manusia yang
dibesarkan dalam budaya Barat lebih “superior daripada manusia yang hidup dalam
budaya non-Barat. Warren misalnya, mengemukakan bahwa mata kuliah yang sekarang
dapat diberi judul “Psikologi Lintas Budaya”
pernah dengan silabus yang kurang lebih sama diajarkan di Inggris dengan judul
“ Psikologi Orang Primitif“. Dengan kata lain, masih terlihat adanya
etnosentrisme pada para peneliti Barat dalam menafsirkan temuan mereka.
Penelitian-penelitian sebelum tahun 1970 masih menunjukkan kecenderungan
ecnosentrime ini, walaupun dengan kadar yang lebih rendah. Hal ini terlihat
dari kenyataan bahwa sebagian besar peneliti pada masa ini menggunakan
konsep-konseo teoritis Barat yang diterapkan dalam konteks budaya lain tanpa
adanya usaha untuk mengikutsertakan variabel yang khas dari budaya lain pada
tahun 1960-an merupakan contoh dari penelitian jenis ini.
Barulah pada periode setelah tahun 1970 penelitian psikologi lintas
budaya yang dilakukan lebih banyak mengikutsertakan para peneliti non-Barat
sebagai sejawat peneliti, sehingga lebih banyak konsep yang khas dari
kebudayaan yang diteliti ikut diperhitungkan. Salah satu hal yang cukup
berperan adalah penjabaran konsep emic dan etic dalam
perbandingan lintas-budaya oleh Berry di mana untuk konsep emic diperlukan
kerjasama dengan peneliti setempat. [4]
2.3 Apa tujuan psikologi lintas budaya?
Tujuan membawa dan menguji
1. Menjalin dan
mengintegrasikan hasil-hasil yang diakui ke dalam sebuah psikologi yang
berwawasan luas ketika tujuan pertama dan kedua tercapai. Juga menetaskan
sebuah konstruksi psikologi yang mendekati universal.[5]
2. Untuk
melihat kedua perilaku universal dan perilaku yang unik untuk mengidentifikasi
cara dimana budaya mempunyai dampak pada perilaku kita, kehidupan keluarga,
pendidikan, pengalaman sosial, dll.[6]
2.4 Bagaimana hubungan psikologi lintas budaya
dengan Kepribadian?
.
Kepribadian dengan Psikologi Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha
menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi kerangka
acuan dari pola pikir dan perilaku manusia, serta bertindak sebagi aspek
fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang
lebih besar, yaitu budaya sebagai konstuk sosial. Menurut Roucek dan Warren,
kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis. Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi
lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara keberagaman budaya dalam
memberi definisi kepribadian. Dalam literature-literatur Amerika umumnya
kepribadian dipertimbangkan sebagai perilaku, kognitif dan predisposisi yang
relatif abadi. Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian
karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan
cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam
definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta
konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan
bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks,
situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh
para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja
ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud,
behavioral approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa
kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal. Dalam
budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya
timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization).
Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu
berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.[7]
[1] Berry,J. W.
Ype H. Poortinga., Marshall H. Segall., & Pierre R. Dasen, Psikologi Lintas
Budaya: Riset dan Aplikasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1990) hal 1
[2] Sarloto W.
Sarwono. Psikologi Lintas Budaya . (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2014) 1-4
[3] Ibid 4
[4] John W. Berry
dkk . Psikologi Lintas-Budaya Riset dan Aplikasi . ( Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 1999 ) 14-17
[5] Berry,J. W.
Ype H. Poortinga., Marshall H. Segall., & Pierre R. Dasen, Psikologi Lintas
Budaya: Riset dan Aplikasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1990) hal 5-7
[6] Ibid
[7] Ibid. hal 8-15
Komentar
Posting Komentar