tipologi kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Perkembangan zaman yang sangat pesat, tentunya juga akan berdampak pada perkembangan kurikulum di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan zaman, yang akhirnya juga menyebabkan kurikulum harus dirombak sedemikian rupa agar sesuai dengan perubahan zaman. Masalahnya, merombak kurikulum yang sudah ada tidak semudah membalik telapak tangan.
Kebudayaan yang sudah melekat di masyarakat menyebabkan sukarnya mengubah tatanan kurikulum yang ada, seperti paham kepercayaan pada mitos yang sudah melekat erat pada setiap suku bangsa di Indonesia ini. Maka dari itu untuk mengubah kurikulum, diperlukan suatu kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan pemerintah.
Pengubahan pada kurikulum kenyataannya sangat diperlukan guna memenuhi tuntutan masyarakat agar tidak terjadi kepincangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan realita di masyarakat yang semakin modern. Jika hal itu terjadi, maka akan sis-sia saja pembelajaran yang dilakukan di sekolah sebab siswa tetap tidak memperolah pengetahuan yang seharusnya diperlukan untuk kehidupan sehari-hari mereka dan untuk masa depan mereka.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kurikulum?
2.      Apa yang dimaksud tipologi kurikulum?
3.      Apa saja model-model kurikulum?
4.      Apa yang dimaksud kurikulum tersembunyi?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Kurikulum
Secara etimologis, istilah kurikulum berasal dari bahasa Yunani curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti ”tempat berpacu”. Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai ke garis finish untuk memperoleh penghargaan. Jarak yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Program tersebut berisi mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik selama kurun waktu tertentu. Secara terminologis istilah kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.[1]

B.       Tipologi Kurikulum
1. Kurikulum Berdasarkan Isi
Kurikulum Klasik : bersifat tradisional yang menekankan bahasa asing, bahasa kuno, sejarah, sastra, matematika dan ilmu murni. Terjadi pada jaman kerajaan dimana kerajaan membutuhkan para pegawai administrasi untuk mengatur rumah tangga kerajaan dan melayani rakyat.
a)   Kurikulum Vokasional: menyiapkan peserta didik untuk siap kerja, dengan menyediakan ketrampilan dan keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Kurikulum diarahkan pada keterkaitan dan keterhubungan dengan dunia kerja , sebab sekolah dipandang sebagai industri penghasil tenaga kerja yang ahli. Di Indonesia kurikulum jenis ini biasanya digunakan di SMK.
b)   Kurikulum Life Adjustment: menekankan pada pengembangan kepribadian, yang meliputi pengetahuan, pemahaman dan hidup adaftif dengan lingkungan, seperti menjaga kesehatan, mengkonstruksi hubungan sosial, membangun rumah tangga, dsb.

2. Kurikulum Berdasarkan Model Pengembangan
a)      Kurikulum Model Administratif: Pengembangan kurikulum model ini disebut juga dengan istilah dari atas ke bawah (top down) atau staf lini (line-staff procedure), artinya pengembangan kurikulum ini ide awal dan pelaksanaannya dimulai dari para pejabat tingkat atas pembuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dalam pengembangan kurikulum. Langkah kedua adalah membentuk suatu tim panitia pelaksana  atau komisi untuk mengembangkan kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri dari para ahli, yaitu: ahli pendidikan, kurikulum, disiplin ilmu, tokoh masyarakat, tim pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja[2].
Tim ini bertugas untuk mengembangkan konsep-konsep umum, landasan, rujukan, maupun strategi pengembangan kurikulum yang selanjutnya menyusun kurikulum secara operasional berkaitan dengan pengembangan atau perumusan tujuan pendidikan maupun pembelajaran, pemilihan dan penyusunan rambu-rambu dan substansi materi pelajar, menyusun alternatif proses pembelajaran, dan menentukan penilaian pembelajaran.
Setelah semua tugas dari dari tim kerja pengembangan kurikulum tersebut telah usai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwewenang atau pejabat yang berkompeten. Setelah mendapatkan beberapa kesempurnaan dan dinilai lebih cukup baik, administer pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.[3]
Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam pelaksanaannya. Setelah berjalan beberpa saat, perlu juga dilakukan suatu evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponenya. Penilaian tersebut dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkan pusat atau daerah, sedangkan penilaian sekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut adalah merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah dan sekolah.
b)     Kurikulum Model Grass Rots: Pengembangan kurikulum model ini kebalikan dari model adaministratif. Model Grass Roots merupakan model pengembangan kurikulum yang dimulai dari arus bawah. Pengembangan kurikulum model ini, berada ditangan staf pengajar sebagai pelaksana pada suatu sekolah atau beberapa kesolah sekaligus. Model ini didasaarkan pada pandangan bahwa implementasi kurikulum akan lebih berhasil jika staf pengajar sebagai pelaksana seudah sejak semula diikutsertakan dalam pengenbagan kurikulum[4]. Model Grass Roots lebih demokratis karena pengembangan dilakukan oleh para pelaksana di lapangan, sehingga perbaikan dan peningkatan dapat dimulai dari unit-unit terkecil dan spesifik menuju bagian-bagian yang lebih besar[5].
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum model Grass Roots, di antaranya : 1) guru harus memiliki kemampuan yang propesional; 2) guru harus terlibat penuh dalam perbaikan kurikulum, penyeselaian permasalahan kurikulum; 3) guru harus terlibat langsung dalam perumusan tujuan, pemilihan bahan, dan penentuan evaluasi; 4) seringnya pertemuan pemahaman guru dan akan menghasilkan konsensus tujuan, perinsip, maupun rencana-rancana. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi dalam model ini, diantaranya adalah akan bervariasinya sistem kurikulum di sekolah karena menerapkan partisipasi sekolah dan masyarakat secara demokratis. Sehingga apabila tidak terkontrol (tidak ada kendali mutu), maka cendrung banyak mengabaikan kebijakan dari pusat.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memingkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru, fasilitas, biaya, maupun bahan-bahan perpustakaan, pengembangan kurikulum model grass roots akan lenih baik. Hal  itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya.  Dialah yang paling tau kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.[6]

3.  Kurikulum Berdasarkan Harapan Kenyataan
a)      Kurikulum Ideal : Kurikulum yang seharusnya atau yang dicita-citakan yang berisi  konseptual ideal tentang kandungan sebuah kurikulum. Contoh KURNAS dan KTSP.

b)     Kurikulum Realkurikulum yang dapat diimplementasikan oleh pihak penyelenggara pendidikan, yang bisa saja justru tidak sesuai denga kurikulum ideal. Misalnya saja terkendala saran pihak sekolah.

4. Kurikulum Berdasarkan Struktur dan Materi Pembelajaran
a)      Kurikulum Terpisah: Kurikulum yang mata pelajarannya diberikan secara terpisah- pisah.
b)     Kurikulum Terpadu: Kurikulum yang mata pelajarannya diberikan secara terpadu dan bersifat tematik, dan didiskusi dalam telaah ilmu yang inter-disipliner.
c)      Kurikulum Terkorelasi: kurikulum yang bahan ajarnya dirancang, dikonstruksikan dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar lainnya. Misalnya sosiologi pendidikan dengan antropologi pendidikan.

5. Kurikulum Berdasarkan Cakupan Penggunaan
a)      Kurikulum Nasional:  Kurikulum yang ditetapkan dan dilaksanakan secara nasional.
b)     Kurikulum Lokal: Kurikulum yang diinisiasi dan dilaksanakan secara lokal (provinsi atau kabupaten) sesuai dengan kebutuhan lokal.
c)      Kurikulum Sublokal (Sekolah): Kurikulum yang dirancang dan dilaksanakan di lingkungan sekolah tertentu (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), yang berkaitan dengan otonomi sekolah atau kampus.

C.      Model Kurikulum
1.         Model Kurikulum Teknik Saintifik.
Model ini disebut juga model rasional bahwa semua bentuk kehidupan manusia dapat dicari dalam hukum-hukum alam yang bersifat umum.  Model kurikulum ini melihat dunia pendidikan seperti mesin yang dapat digambar, dibuat dan diamati, sehingga aspek manusia terhadap penyelenggaraan pendidikan dan peserta didik kurang diperhatikan.
2.         Model Kurikulum Refleksif
Model kurikulum yang diperbincangkan, didiskusikan dan dirundingkan secara bersama, yang menghasilkan kurikulum holistik (suatu bagian keseluruhan yang diterima peserta didik dari sekolah) dan kurikulum parsial (suatu bagian tertentu dari bangunan keseluruhan yang diterima oleh peserta didik dalam bentuk silabus).
3.         Model Kurikulum Relasional
Model kurikulum yang berusa mengaitkan antara pelajaran sekolah dengan struktur sosial, yang berkaitan dengan usaha melakukan pencerminan situasi sosial atau sejarah kehidupan dalam kurikulum. Misalnya dengan memasukan tema HIV/AIDS  atau tawuran pelajar dalam kaitannya dengan pendidikan budi pekerti (Kewarganegaraan).

D.      Kurikulum Tersembunyi
Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sebagai agenda tersembunyi dalam setiap stimulasi pembelajaran, yang merujuk pada peraturan, regulasi dan rutin, dimana peserta didik dan partisipan sekolah lainnya harus menyesuaikan diri.  Oleh sebab itu, Kurikulum tersembunyi dipahami sebagai sesuatu yang diajarkan dan dipelajari secara bersama dengan kurikulum resmi dan formal, yang melekat dalam peraturan atau regulasi yang tidak tertulis tentang perilaku dan sikap serta konsekuensi terhadap yang anti-partisipasi.  Misalnya konsep tentang rapi, apabila seseoran tidak kumal dan tulisan tangannya dapat dibaca.
Apakah perilaku kekerasan dan disiplin bagian dari kurikulum tersembunyi?  Semua lembaga pendidikan tinggi biasa memiliki masa orientasi yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu dan khas di lembaga pendidikan tersebut, yang berkaitan dengan mandiri, kerja keras dan disiplin. Hanya saja dalam pelaksanaannya, nilai-nilai ini ditanamkan dalam pola senior-junior dimana terjadi perpeloncoan di ambang batas kemanusiaan atau kekerasan. Kadang-kadang bertopeng atas nama “inisiasi” kepatuhan junioritas, sebagai tanda kekuasaan yang sala kelola. Lalu, pantaskan lembaga pendidikan ini disebut proses peradaban, jika terdapat kebiadaban di dalamnya?
        Kurikulum tersembunyi ini berkembang sejalan dengan praktek dalam proses pendiidkan, pengajaran dan pembelajaran, yang secara sadar para praktisi lakukan untuk mengarahkan pada nilai positif, dan menghilangkan praktek negatif seperti yang disebutkan di atas.





















DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum.Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2012.
Dinata, Nana Syaodih Sukma. Pengembangan kurikulum teori dan praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999.
Ruhimat, Toto dan Muthia Alinawati. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Subandijah. Pengembangan dan inovasi Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.




[1] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2012), 2-3.
[2] Toto Ruhimat dan Muthia Alinawati, Kurikulum dan Pembelajaran,  (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm,81
[3] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum teori dan praktik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.  161
[4] Subandijah, Pengembangan dan inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71
[5] Toto Ruhimat dan Muthia Alinawati, Kurikulum dan Pembelajaran,  (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm,82
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum teori dan praktik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), hlm.  163

Komentar