A.
Dilalah
Manthuq
Dilalah
Al-Manthuq adalah makna (hukum) yang ditunjukan oleh yang ada dalam objek
pembicaraan. Tegasnya, manthuq merupakan makna eksplisit atau literal yang
dikandung oleh suatu ungkapan nash.
Beberapa
contohnya sebagai berikut:
1. Surah
al-isra’ (17): 23:
فَلَا
تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣
Dan
janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada keduanya (ibu-bapak).
Dilalat
al-mantuq dari ayat ini menunjukkaan adanyalarangan mengucapkan kata “ah”.
2. Surah
al-nisa’ (4): 23:
ۡ
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم
بِهِنَّ
Dan
anak perempuan istri kamu yang berada dalam peliharaan kamu, (yang berasal)
dari istri yang telah kamu campuri.
Dilalat
al-mantuq dari ayat ini menunjukkan adanya larangan terhadap seorang laki-laki
menikahi anak tiri perempuan yang berada dalam pengasuhannya, yang berasal dari
istri yang telah disetubuhinya.[1]
3. Surah
al-baqarah (2): 184:
ٖۚ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ
أُخَرَۚ
Maka
barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.
Dalam pandangan ulama syafiiyah,
dilalah itu ada dua macam yaitu: dilalah manthuq dan dilalah mafbum
Dilalah
manthuq dalam pandangan ulama syafi’iyah adalah:
Penunjukkan
lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut lafadz itu.
Definisi
ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami “suatu hukum” dari apa yang
langsung tersurat dalam lafaz itu, maka disebut pemahaman secara “Mantuq”.
Secara
garis besarnya, “dilalah mantuq terbagi
2, yaitu: mantuq sharikh/ jelas dan mantuq ghair sharikh/ yang tidak jelas.
1.
mantuq sharikh ialah mantuq yang menunjukkannya itu timbul dari “wadh’ iyah
muthaqibiyah” dan “wadh’ iyah tadhamminiyah” (lihat dalam pembahasan dilalah
secara umum).
Manthuq
sharikh dalam istilah ulama syafiiyah ini adalah apa yang di istilahkan dilalah
ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.
2.
manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukkan nya timbul
dari wadh’iyah iltizhamiyah.
B.
Dilalat
al-Mafhum
Dilalat
al-Mafhum adalah makna (hukum) yang di tunjukkan oleh lafal yang tidak ada
dalam objek pembicaraan. Jelasnya, dilalat al-mafhum merupakan makna implisit
atau kontekstual yang dikandung oleh suatu ungkapan nash.
C.
Pembagian
mafhum
Ulama
ushul fiqih membagi mafhum kepada dua bagian yaitu:
1. Mafhum
muwafaqah
Mafhum muwafaqah, yaitu
pengertian tersirat dari suatu lafal.
Mafhum al-muafaqah
terbagi lagi kepada:
a. Mafhum
al-aulawi (pemahaman yang lebih utama) contohnya terdapat dalam surat Al-Isra
(17):23:
فَلَا
تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا
Artinya:
janganlah kamu mengatakan kepada kedua orang tua perkataan “ah” dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulai.
Secara mahfum,
mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata kata atau memerlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
b. Mafhum
al-Musawi (pemahaman yang sama)
Contohnya terdapat
dalam surah an-Nisa (4):10:
إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ
Artinya :
sesungguhnya orang orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
Mantuq ayat diatas
menunjukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Dan dari
segi mafhum-nya, dilarang pula merusak, membakar atau memusnahkan harta anak
yatim.
2. Mahfum
Mukhalafah
Mafhum
mukhalafah yaitu pengertian kebalikan dari pengertian lafal yg dicuapkan. Ulama
ushul membagi mafhum mukhalafah kepada:
a. Mahfum
ash-shifah.
Hadis di atas
menggunakan lafal سا ءملة (yang diternak di padang rumput lepas tanpa perlu diambilkan
makanannya).
b. Mafhum
al-ghayah
Contohnya yaitu surah
Al-Baqarah (2): 187:
وَكُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ
ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar
Contoh lain, yaitu
terdapat dalam surah Al-Baqarah (2): 230:
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن
يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوۡمٖ
يَعۡلَمُونَ ٢٣٠
Kemudian jika si
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudia jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalakan
hukum hukum Allah. Itulah hukum hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.
c. Mafhum
Asy-Syarat
Contohnya, firman Allah
dalam surah Ath-Thalaq (65): 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ
مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ
عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ
يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ
أُخۡرَىٰ ٦
Tempatkanlah
mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.
Dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.
Secara mantuq ayat ini
mewajibkan mantan suami memberikan nafkah kepada mantan istrinya, dengan syarat
wanita tersebut sedang hamil dan kewajiban memberi upah menyusui kepada mantan
istrinya, bila ia meyusui. Dengan demikian, bila dipahami berdasarkan mafhum
syarat, maka:
(1) Isteri
yang telah dicerai dan ia tidak sedang hamil, maka tidak wajib diberikan nafkah
oleh mantan suaminya.
(2) Isteri
yang telah dicerai dan tidak meyusukan anak anak suami, maka tidak wajib
diberikan upah.
d. Mafhum
al-‘adad.
Contohnya yaitu surah
An-Nur (24): 2:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا
تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ
بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ
ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢
Perempuan yang
berzina dan laki laki yang berzina, maka deralah tiap tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, maka janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang orang yang beriman.
Berdasarkan mafhum
al-adad yang terdapat pada ayat di atas, maka tidak sah daeraan yang kurang
atau lebih dari 100 kali.
Komentar
Posting Komentar