ibarah nash dan isyarah nash

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam melakukan istinbat hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.Berkenaan dengan cara penunjukan dalalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, metode dalam penunjukan nass terbagi menjadi 4 yaitu ibarah nas, isyarah nash, dalalah nash, dan iqtida’ nash.Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dilalah lafal nash?
2. Bagaimana penjelasan dalalah ibarah nash?
3. Bagaimana penjelasan dalalah isyarah nash?
4. Bagaimana penjelasan dalalah nash?
5. Bagaimana penjelasan dalalah iqtdha nash?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui dalalah lafal nash.
2. Untuk mengetahui penunjukan lafal ibarah nash.
3. Untuk menjabarkan penunjukan lafal isyarah nash.
4. Untuk menjabarkan  penunjukan lafal dalalah nash.
5. Untuk menjelaskan penunjukan lafal dalalah iqtidha nash.

D. MANFAAT PEMBUATAN MAKALAH
  1. Penulis. Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan pendalaman tentang ibarat al-nash, isyarat al-nash, dalalah al-nash, iqtidha al-nash. Hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan acuan dalam memuat pemikiran tentang masalah yang sejenis.
  2. STAIN Kediri, untuk menambah perbendaharaan kepustakaan.
  3. Memberikan sumbangan yang berarti bagi peningkatan proses pembelajaran.
  4. Pembaca.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Dalalah lafal: dalalah secara bahasa berarti penunjukan, berasal dari kata dalla yang berarti menunjukkan. Lafal berarti ucapan dan perkataan. Secara istilah, dalalah lafal ialah berbagai makna yang ditimbulkan oleh lafal atau perkataan.
Dalam bahasa Arab atau lainnya, suatu lafal dapat menujukkan beberapa pengertian. Meskipun pengertian-pengertian itu berbeda namun semuanya mempunyai keterkaitan. Keterkaitan tersebut terjadi, karena pada dasarnya pengertian-pengertian itu diambil dan dipahami dari satu lafal yang sama. Keragaman pengertian ini muncul dari cara-cara yang berbeda yang dipergunakan dalam memahami makna suatu lafal.
Dalam penunjukan nash media lafal, terdapat dua kemungkinan yaitu hukum yang ditunjukkan memang dikehendaki oleh konteks nash atau hukum yang ditunjukkan tidak dihendaki oleh konteks nash. Penunjukan terhadap hukum yang dikehendaki oleh konteks nash tersebut dinamakan dilalat al-ibarah sedangkan penunjukan terhadap hukum yang tidak dikehendaki disebut dilalat al-isyarah. Selanjutnya penunjukan nash yang tidak melalui media lafal juga terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, hukum yang ditunjukkan dapat disimpulkan dari lafal berdasarkan logika kebahasaan dan penunjukannya ini dinamakan dilalat al-nash. Kemungkinan kedua, hukum yang ditunjukkan dapat disimpulkan dari lafal berdasarkan logika yuridis atau logika rasionalitas dan penunjukanya disebut dilalat al-iqtida’.[1]
B.     Macam-macam Dalalah
Mahzab Hanafi membagi cara-cara yang dipergunakan untuk mengetahui dalalah lafal terhadap makna kepada empat macam, yaitu:
1.         Ibarat al-Nash
2.         Isyarat al-Nash
3.         Dalalah al-Nash
4.         Iqtidha’ al Nash
Pembagian yang terbatas pada empat macam ini didasari pemikiran bahwa hukum yang ditarik dari susunan lafal itu, adakalanya bedasarkan susunan lafal itu sendiri, dan adakalanya dipahami secara tidak langsung bedasarkan susunan lafal itu melalui pemahaman kebahasaan, maka ia disebut iqtidha.[2]

1.      Ibarat al-nash
Yang dimaksud dengan nash ialah dalalah lafal terhadap makna bedasarkan susunan lafal itu sendiri,baik lafal itu zhahir (lafal yang menunjukan pengertian yang jelas, namun lafal itu), atau nash (lafal yang menunjukkan makna yang jelas dan lafal itu dimaksudkan untuk menjelaskan makna tersebut), atau mufassar (lafal yang kejelasan pengertiannya disebabkan ada kejelasan nash lain), ataupun muhkam (lafal yang jelas pengertiannya dan dimaksudkan untuk menjelaskannya, tidak dapat ditakhwilkan, tidak dapat di takhsiskan dan tidak menerima penasakhan). Sedangkat yang dimaksud  dengan ibarat ialah shighat atau bentuk susunan kalimatnya. Dengan demikian dalalah ibarat al-nash ialah pengertian yang ditunjukki oleh lafal secara langsung dari susunan kalimatnya dari makna tersebut merupakan maksud dari lafal itu. Selanjutnya makna tersebut adakalanya merupakan makna pokok dan adakalanya merupakan makna yang tidak pokok, tapi ikut terkandung di dalamnya (taba’i).
Misalnya firman Allah SWT.:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا 
...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..(QS Al-Baqarah [2]:275)

Dari segi lafal dan ibaratnya firman Allah tersebut menunjukkan dua makna, yaitu: Pertama pembedaan antara jual beli dan riba. Kedua pembolehan jual beli dan pengharaman riba. Kedua makan tersebut dikehendaki oleh susunan kalimat ayat tersebut, hanya saja makna yang pertama merupakan maksud asli, karena ia diturunkan untuk menangkis dan membantah pernyataan orang-orang yang mengatakan bahwa jual neli itu sama dengan riba. Sedangkan makna yang kedua bukanlah makna pokok (taba’i) yang dikehendaki untuk menjelaskna makna pokok.[3]
Contoh lain, firman Allah SWT.:
فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَـكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. (QS. An-Nisa [4]:3)

Dari segi lafal dan susunan kalimat, firman Allah tersebut menunjukkan dua makna, yaitu pertama, pembolehan kawin, dan kedua pembatasan jumlah istri sebanyak empat orang. Kedua makna tersebut dikehendaki oleh ayat diatas bedasarkan susunan kalimatnya. Hanya saja makna yang pertama bukan makna pokok (tabi’i), dan makna kedua merupakan makna yang pokok (asli), karena ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang merasa berat meneriman wasiat mengurus anak yatim, karena khawatir bersikap zhalim terhadapnya dengan cara memakan sebagian hartanya, padahal orang-orang itu tidak merasa berat meninggalkan sikap adil diantara beberapa istrinya yang jumlahnya tak terhitung lagi. Oleh karena itu, maka Allah SWT, berfirman: jika orang-orang itu takut menzhalimi istri-istri. Untuk itu, Allah memerintahkan untuk mempersedikit jumlah istri dan membatasi empat orang saja, bahkan cukup seorang saja, jika beristri lebih dari satu membuatnya tidak mampu bersikap adil. Selanjutnya makna kedua, pembolehan kawin. dimaksudkan oleh Allah dari susunan kalimat untuk dapat menyampaikan tujuan pokok di atas. Oleh karena itu, ia merupakan makna yang tidak pokok.[4]

2.      Isyarat al-nash
Isyarat al nash adalah dalalah lafal terhadap makna yang tidak dimasukkan melalui susunan kalimatnya, baik dalam bentuk makna pokok atau tidak pokok, hanya saja makan tersebut menetap dan melekat pada makna yang dimaksudkan melalui susunan kalimatnya. Dengan demikian, makna atau hukum yang diambil dari isyarat al nash bukan menjadi tujuan dari susunan kalimat dari dalalah ibarat al-nash memang dikehendaki melalui susunan kalimatnya secara langsung. Selanjutnya, dalalah isyarat al-nash terkadang cukup jelas yang memungkinkan untuk dipahami dengan sedikit perenungan atau penalaran, dan terkadang pula dalalahnya samar sehingga untuk mengetahuinya diperlukan kecermatan analisis dan penalaran yang mendalam. Dalalah samar ini biasanya menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.[5]
Contoh dalalah isyarat al-nash anatar lain, firman  Allah SWT:
اُحِلَّ لَـکُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَآئِكُمْ  ؕ هُنَّ لِبَاسٌ لَّـكُمْ وَاَنْـتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ  ؕ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّکُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَکُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ  فَالْــئٰنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا کَتَبَ اللّٰهُ لَـكُمْ ۖ  وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari, bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (QS. Al-baqarah [2]:187)

Bedasarkan susunan kalimatnya, ayat tersebut menunjukkan kebolehan mencampuri istri pada seluruh bagian waktu malam bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Kemudian bedasarkan dalalah isyarat al-nash dipahami kebolehan memasuki waktu subuh dalam keadaan junub dan berpuasa. Sebab kebolehan mencampuri istri hingga terbit faja berakibat ketika fajar terbit seseorang masih berada dalam keadaan junub. Pengertian ini sebenarnya tidak dimaksudkan dari susunan ayat tersebut, akan tetapi merupakan kosekuensi logis dari makna yang dikehendaki oleh susunan ayat itu.[6]
Contoh lain, firman Allah SWT:

حَمَلَـتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا  ؕ  وَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰـثُوْنَ شَهْرًا
Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan... (QS. Al-Ahqaf [46]:15)

Bedasarkan ibarat al-nash, ayat tersebut menunjukkan dan menjelaskan kemuliaan derajat ibu bagi anaknya. Kemudian bedasarkan isyaratnya, ayat tersebut mengandung kosekuensi pengertian bahwa sekurang-kurangnya masa kehamilan adalah enam bulan karena pada ayat lain Allah SWT, berfirman:

حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِيْ عَامَيْنِ
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (QS. Luqman [31]:14)

Ayat ini menyatakan bahwa masa penyapihan adalah usia anak 2 tahun. Dengan demikian, dari tiga puluh bulan yang dikurangi dua tahun (24 bulan) tinggalah enam bulan untuk masa kehamilan. Orang yang pertama kali mengambil pemahaman demikian ialah sahabat Ibn Abbas r.a[7]
Sebagaimana dalalah ibarat al-nash, isyarat al-nash juga mengandung pengertian yang qath’i  (pasti), kecuali apabila ada sesuatu yang memalingkan kepastian hukumnya kepada zhanni. Misalnya, ulama telah sepakat (ijma’), bahwa anak mengikuti ibunya dalam hal status kebudakan dan kemerdekaannya.
Hal ini mentakhsiskan ketentuan bahwa anak mengikuti bapaknya yang ditegaskan oleh firman Allah SWT,:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
(QS Al-baqarah [2]:233)

3.    Dalalah al-nash
Dalalah al nash ialah dalalah lafal terhadap ketetapan hukum yang terdapat pada persoalan yang dinyatakan dalam nash yang kemudian diperuntukkan pada persoalan yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam nash, karena adanay persamaan hukum (illat) yang dapat dipahami melalui bahasa, tanpa membutuhkan ijtihad secara syar’i, baik persoalan yang dinyatakan dalam nash (manshush’alaih) karena kesamaan illat (alasan hukum) nya, atau bahkan lebih layak terhadap hukum itu disebabkan amat kuatnya alasan hukum padanya. Dalalah ini disebut dalalah al-nash, Karena hukum yang ditetapkan bedasarkan hukum ini tidak dipahami dari lafal sebagaimana yang terjadi pada dalalah ibarat al-nash atau isyarat al-nash, akan tetapi ia dipahami melalui ‘illat (alasan) hukumnya. Dalalah ini juga disebut fahwa al-khittab (tujuan dan sasaran dari suatu pembicaraan). Sedangkan Imam Syafi’i menganggap sebagai qiyas jaliy (analogi yang jelas), sementara di kalangan ulama Mahzab Hanafi ini disebut mahfum muwafaqah, Karena adanya kesesuaian atau kesamaan alasan hukumnya.[8]
Contoh dalalah al-nash yang lebih kuat ‘illat hukumnya ialah firman Allah SWT:

اِمَّا يَـبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَاۤ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَاۤ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapakanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS-al Isra [17]:23)

Berdasarkan dalalah al-nash ayat ini menujukan keharaman mengatakan “ah!” kepada ibu dan bapak, karena itu meyakiti hati mereka. Kemudian bedasarkan dalalah al-nash, ayat ini menunjukan keharaman memukul, mencaci maki, memenjarakan, dan mencegah mereka makan dan minum dan semisalnya. Sebab hal-hal tersebut jauh lebih meyakitkan hatinya dari pada sekedar perkataan “ah”. Oleh karena itu, hukum keharaman pada beberapa hal yang tidak disebutkan dalam nash ini lebih kuat dari pada hukum haram sesuatu yang di sebutkan nash. Sebab alasanya lebih kuat. [9]
Perbedaan antara mahzab Hanafi dan mahzab Syafi’i dalam hal ini ialah: bahwa Mahzab Syafi’i mengatakan bahwa hukum itu tetap didasarkan nash, Karena alasan hukumnya atau pemahaman maknanya dapat ditangkap oleh setiap orang yang mengerti bahasa, yang selanjutnya secara batiniah mengalihkan hukum tersebut pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nash. Sedangkan Mahzab Hanafi hukum tersebut diketahui melalui ijtihad syar’i atau qiyas syar’i, bukan semata-mata pengetahuan kebahasaan. Qiyas tersebut merupakan makna yang diistinbatkan melalui penalaran (ray’) yang jelas pengaruhnya dalam syara’ yang selanjutnya hukum tersebut diberlakukan pada sesuatu yang tidak ada nashnya.
Diantara contoh dalalah nash yang sama illat hukumnya ialah firman Allah SWT:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا   ؕ  وَسَيَـصْلَوْنَ سَعِيْرًا
sesunguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka iyu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala (neraka).(QS.An-nisa’:10)

Berdasarkan ibarah al-nash dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya memakan harta anak yatim secara zalim. Selanjutnya bedasarkan dalalah al-nash, ayat ini juga menunjukkan keharaman merusak atau memusnahkan harta anak yatim dengan segala bentuknya, seperti membakar, membuang dan sebagainya. Sebab setiap orang yang mengerti bahasa mengetahui bahwa yang dimaksudkan adalah menyia-nyiakan harta anak yatim. Oleh Karena itu, pengurusan terhadapnya adalah haram sebagaimana memakannya, Karena ada kesamaan ‘illat hukum.

4.    Iqtidha’ al-nash
Dalalah iqtidha al-nash ialah dalalah suatu lafal terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara tersirat dalam nash, akan tetapi keabsahan dan kebenaran lafal itu mau tidak mau harus memperkirakan keberadaanya. Dalalah ini disebut iqtidha al-nash, karena kata iqtidha berarti mencari atau menuntut. Pada dalalah ini, maka yang ditunjuki oleh lafal menuntut kehadiranya agar lafal itu dapat dipahami secara benar dan sah menurut syara’
Ada tiga macam perkiraan yang harus dihadirkan bagi dalalah iqtidha al-nash, yaitu:
1.      Makna yang harus diperkirakan keberadaanya demi kebenaran lafal, misalnya Rasullullah SAW. Bersabda:

رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَ مَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ

 “telah diangkat dari umatku: ketersalahan, lupa dan sesuatu yang dipaksakan atas mereka.”(HR.Bukhari Muslim, Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, Ad-Darimi dan lainnya dari Aisyah ra.)

Dari lafal dan susunan kalimatnya, hadis tersebut menunjukkan pengangkatan perbuatan yang terjadi karena ketersalahan, lupa atau terpaksa. Pengangkatan ini bertentangan dengan kenyataan, karena perbuatan-perbuatan tersebut dalam realitas perbuatan manusia yang telah terjadi. Oleh karena itu, dalam nash tersebut mesti ada sesuatu yang diperkirakan keberadaanya, yaitu: dosa dan hukuman, agar sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, yang diangkat bukan perbuatanya, karena perbuatan itu telah ada, akan tetapi yang diangkat adalah dosa yang ditimbulkan oleh perbuatan itu. Kata “dosa” tidak disebutkan dalam nash hadis, tapi mesti diperkirakan adanya, supaya dapat dipahami secara benar.[10]

2.      Makna yang mesti diperkirakan keberadaanya untuk mendukung kebenaran lafal secara rasional, misalnya firman Allah SWT.

وَسْـئَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا  وَالْعِيْرَ الَّتِيْ اَقْبَلْنَا فِيْهَا 
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ...(QS. Yusuf [12]:82).

Bedasarkan akal, dalam ayat tersebut harus diperkirakan adanya kata “penduduk” supaya kalimat itu dapat dipahami secara benar, karena negeri tidak mungkin dapat dinyatakan dan memberikan jawaban. Yang dapat ditanyai dan dapat memberikan jawaban adalah penduduk negeri, bukan negara itu sendiri.[11]

3.      Makna yang harus diperkirakan kehadirannya untuk mendukung kebenaran lafal secara syara’. Misalnya firman Allah SWT:
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهٰجِرِيْنَ الَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا
“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka, karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.”.(QS. Al-Hasyr [59]:8)

Susunan kalimat pada ayat di atas menunjukkan kefakiran golongan Muhajjirin, padahal mereka mempunyai harta yang banyak di Makkah. Pernyatan tersebut tidak akan benar kecuali apabila kita memikirkan hilangnya kepemilikan mereka atas harta yang mereka tinggalkan di Makkah. Dan harta tersebut menjadi milik orang-orang kafir dengan cara menguasai harta itu. Perkiraan hilangnya kepemilikan mereka dipahami melalui dalalah iqtidha al-nash, supaya apa yang disebutkan nash itu benar.

Contoh lain, firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi...(QS. Al-Maidah [5]:3)
Dan firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan..(QS. An-Nisa [4]:23).

Pada ayat yang pertama, diperkirakan adanya kata “makan” dan pada ayat yang kedua diperkirakan, ada kata “mengawini”, sebab keharaman tidak terkait dengan objek, tapi terkait dengan perbuatan. Perkiraan semacam ini didasarkan pada dalalah iqtidha al-nash. Contoh-contoh semacam ini banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.

































BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN:
Dilalah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash.Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyârat al-nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya. Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru  dilâlat al-nash  dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash.
















DAFTAR PUSTAKA

Sanusi Ahmad. Ushul Fiqh. 2015. Jakata: Rajawali Press.
Asmawi. Ushul al-fiqh al Islami. 2011. Jakarta: Amzah.
Soebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. 2008. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Djunaedi, Wawan. Ushul Fiqh. 2008. Jakarta: Listafariska Putra.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid II. 2001. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Al-Fiqh. 1986. Kairo:Maktabatah al-Da’wah al islamiyah.
Zuhaili, Wahab. Ushul al-Fiqh al-Islami. 2003. bandung: pustaka setia.






[1] Ahmad Sanusi,Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, 2015), 194.
[2] Asmawi, Ushul al-fiqh al Islami (Jakarta: Amzah, 2011), 92.
[3]Ahmad Sanusi,Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, 2015), 194.
[4] Beni Ahmad Soebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2008), 98.

[5] Wawan Djunaedi, Ushul Fiqh (Jakarta: Listafariska Putra, 2008),246.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.

[7] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh (Kairo:Maktabatah al-Da’wah al islamiyah, 1986),349.
[8] Ahmad Sanusi,Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Press, 2015), 196.
[9] Wahab Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,(bandung:pustaka setia, 2003), 132.
[10] Wahab Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami,(bandung:pustaka setia, 2003), 132.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), 126.


Komentar