ISTISHHAB
Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:
Ushul
Fiqih
Dosen Pengampu :
Syaiful
Bahri, M.HI

Disusun Oleh :
Abdul Kholik (932128013)
JURUSAN
SYARI’AH
PRODI
PERBANKAN SYARI’AH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
KEDIRI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam kehidupan dan beragama
tidak lepas dari berbagai persoalan-persoalan dan permasalahan-permasalahan
yang dihadapi oleh umat Islam khususnya serta umat manusia pada umumnya.
Manusia dihadapkan dengan keraguan dan berbagai pertimbangan dengan mencari
sumber-sumber hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Berbagai
sumber hukum yang banyak menjadi pedoman bahkan ada beberapa yang tidak
ditemukan di dalam sumber hukum yang ada.
Di dalam agama Islam, telah
disepakati oleh Islam dan telah diyakini sebagai sumber hukum syariah yaitu
terdapat empat elemen utama, yang paling utama dari semua sumber hukum adalah
kitab suci Al-Qur’an yang telah menjadi penolong dan pedoman dalam hidup umat
Islam. Selanjutnya adalah As-Sunnah adalah petunjuk dari Nabi Muhammad SAW.
Yang ketiga adalah Ijma’ adalah kesepakatan jumhur ulama yang ada di seluruh
dunia, dan yang keempat adalah Qiyas yaitu metode analogi di dalam menentukan
ketetapan hukum Islam.
Dari keempat elemen tersebut masih
ada hukum y ang belum tercantum dengan jelas sehingga belum terdapat
kesepakatan diantara para ulama. Dengan hal tersebut maka dapat digunakannya Istishhab sebagai penentuan hukum yang
telah ada dan belum terdapat ketentuan yang meperbaruinya.
Untuk itu di dalam makalah ini akan
kami bahas materi tentang Istishhab, secara
terperinci dengan bahasan yang singkat dan mudah dipahami.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Istishhab?
2.
Apa saja Macam-macam Istishhab?
3. Bagaimana Kehujjahan Istishhab?
4. Bagaimana
Implementasi istishhab?
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui bagaimana
pengertian Istishhab, Apa saja macam-macam Istihhab, Bagaimana Kehujjahan Istihhab,
serta Bagaimana Implementasi Istishhab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishhab
Istishhab berasal dari
kata suhbah yang berarti menemani. Sedangkan secara istilah istishhab artinya menetapkan hukum yang
telah ada hingga ada dalil yang merubahnya.
Istishhab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada
tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Artinya,
mengembalikan segala sesuatu pada ketentuan semula selama tidak ada dalil nash yang mengharamkannya atau
melarangnya.[1]
Istishhab
secara harfiyah adalah
mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul adalah
menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang
menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan di
masa lampau secara kekal menurut keadaanya sampai terdapat dalil yang
menunjukkan perubahannya.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya
tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan dalil syara’
yang meng-itlak-kan hukumnya, maka
hukumnya adalah boleh.[2]
B. Macam-macam Istishhab
a.
Istishab Al-Bara’ah al-Ashliyah
Istishab ini adalah terlepasnya
seseorang dari tanggung jawab atau dari suatu hukum, hingga ada dalil yang menunjukkannya.
Contohnya seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif hingga ada
bukti yang menetakan taklifnya. Misalnya anak kecil sampai datangnya baligh,
tidak adanya kewajiban antara hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri sampai adanya akad nikah.
b.
Istishab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu Istishab yang berdasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang Mubah. Istishab semacam ini
banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalah. Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan ,hulum dasar dari sesuatu
yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupansehari-hari selama
tidak ada dalil yang
melarangnya, seperti makanan, minuman, hewan
dll. Prinsip ini berdasarkan ayat 29 Surat al-Baqarah : “Dia lah Allah yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu”.
c.
Istishab al-Hukmi
Istishab al-Hukmi yakni sesuatu yang telah ditetapkan dengan hukum mubah
atau haram, maka hukum itu terus berlangsung sampai ada dalil yang
mengkhususkan atau membatalkannya. Misalnya kewajiban menginfaki hasil usaha
manusia dan hasil eksploitasi alam tetap berlaku hukumnya se lama tidak ada
dalil yang mengkhususkannya.
d.
Istishab Washfi
Seperti keadaan hidupnya seseorang dinisbahkan keadaan orang yang hilang. Contohnya, apabila
seseorang dalam keadaan hidup meninggalkan kampung halamannya, maka orang ini oleh semua mazhab dianggap tetap
hidup sampai ada bukti yang menunjukan bahwa ia telah meninggal dunia.[3]
C. Kehujjahan
Istishhab
Istishab adalah akhir dalil
syara’ yang di jadikan tempat kembali bagi para mujtahid
. Untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata. “sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredarnya
fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya
selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam
pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam
mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi
atas hidupnya dan atas pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya
sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematianya.
Setiap orang yang mengetaui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai
terdapat dalil yang meniadakanya, dan barang siapa mengetaui ketiadaanya
sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukan
keberadaanya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini.
Jadi, suatu kepemilikan misalnya. Tetap menjadi siapa saja berdasarkan sebab
beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan
tersebut
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi
suami - istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang
menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang
piutang atau sebab ketetapan apa saja. Dianggap tetap ada ketetapan yang
menghapuskanya. Tanggungan yang telah di bebaskan dari orang yang terkena
tuntutan utang piutang atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada
ketetapan yang membebaskanya. Asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang
telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga telah di jadikan
dasar bagi prinsip prinsip syariat antara lain sebagai berikut “Asal sesuatu
adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula keadaan semula sehingga
terdapat sesuatu yang mengubahnya”.
Pendapat yang dianggap benar adalah istishhab bisa di jadikan dalil hukum
karena hakekatnya dallilah yang telah
menetepkan hukum tersebut. Istishhab
itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[4]
D.
Implementasi istishhab
Pertama, sesuatu
kejadian itu harus berdasarkan status yang paling meyakinkan.
Kedua, posisi
awal yang paling benar.
Ketiga, waktu
yang paling dekat yang masih berlaku.
Misalnya
perihal kasus istri yang ditinggal merantau oleh suaminya maka yang paling meyakinkan
adalah surat nikahnya, tentang ghoibnya suami belum ada keterangan yang
meyakinkan atau masih meragukan, sehingga yang meragukan itu tidak dapat
menghapus yang ada bukti empiris yang meyakinkan, kemudian dilihat dari
statusnya ia adalah istri suaminya yang belum menceraikan, kemudian dilihat
dari zaman yang paling dekat ia terakhir bersuamikan suami yang merantau
tersebut, maka dengan demikian apapun keadaanya selama status ia sebagai istri
tersebut belum dibatalkan, baik melalui cerai atau diceraikan oleh pengadilan
maka ia tetap menjadi istri dari orang yang menikahinya tersebut.[5]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Di dalam maka dapat disimpulkan bahwa Istishhab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada
ketentuan dalil yang mengubahnya. Artinya, mengembalikan segala sesuatu pada
ketentuan semula selama tidak ada dalil nash
yang mengharamkannya atau melarangnya. Istishhab juga telah di
jadikan dasar bagi prinsip prinsip syariat antara lain sebagai berikut “Asal
sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula keadaan semula
sehingga terdapat sesuatu yang mengubahnya”. Dan pelaksanaan istishhab adalah sebagai berikut;
Pertama, sesuatu
kejadian itu harus berdasarkan status yang paling meyakinkan.
Kedua, posisi
awal yang paling benar.
Ketiga, waktu
yang paling dekat yang masih berlaku.
Semoga
makalah ini dapat memberi wawasan serta menambah pengetahuan bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka
Setia, Bandung: 2010.
Amiruddin,
Zein. Ushul Fiqh. Penerbit TERAS,
Yogyakarta: 2009.
Djazuli. Ilmu Fiqh. Prenada
Media, cet-5, Jakarta : 2005.
Abdul Hamid dan Ahmad Saebani. Ilmu
Akhlak. Pustaka Setia, Bandung:
2010.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
Latar Belakang........................................................................................... 1
Rumusan Masalah...................................................................................... 2
Tujuan penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A. Pengertian Istishhab.................................................................................. 3
B. Macam-macam Istishhab 4
C. Kehujjahan Istishhab................................................................................. 5
D. Implementasi istishhab............................................................................. 6
BAB III PENUTUP..................................................................................... 7 Kesimpulan 7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 8
![]() |
[1] Abdul Hamid dan Ahmad Saebani, Ilmu
Akhlak (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 136.
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, cet-IV, 2010), 125.
[3] Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakarta
:Prenada Media, cet-5, 2005)
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, cet-IV, 2010), 126-127.
[5] Zen Amirudin, Ushul Fiqih (Yogyakarta:
Penerbit TERAS, 2009), 177.
Komentar
Posting Komentar