LAFADZ ‘AMM, KHASS, DAN TAKHISS

LAFADZ ‘AMM, KHASS, DAN TAKHISS
Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah
Ushul Fiqh
DOSEN PENGAMPU:
Hj. Lunga-Ngidul. S.pmd.i

Description: Description: Logo_STAIN_Kediri (2)

Disusun oleh :
Abdul kholik                   (932128013)


JURUSAN SYARI’AH
PRODI PERBANKAN SYARI’AH
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkam hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqih akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul Fiqih sejak dulu, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat diantara mereka, perbedaan tersebut terjadi karena berhubungan dengan kedudukan hadits-hadits ahad dengan keumuman al-Qur’a, dan kedudukan qiyas terdapat nash-nash yang bersifat umum. Dari segi cakupan lafad terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum/Amm dan khusus/Khass, sedang dari segi sifat dibagi menjadi yang mutlak dan muqayyat. Di antara kaidah-kaidah Ushul \fiqih yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya ada lafal Amm, Khas dan Takhsish.
B.  Rumusan Masalah
a)        Apa pengertian  lafal amm, khass dan tahksish?
b)        Bagaimana macam-macam amm, khass dan tahksish?
c)        Bagaimana dalalah khass?

C. Tujuan Penulisan
a.         Untuk menjabarkan pengertian dari amm, khass dan tahksish
b.        Untuk menjelaskan macam-macam amm, khass dan tahksish?
c.         Untuk menjelaskan dalalah khass


BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pengertian lafal Amm
Amm dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang berbilang, baik sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun Amm menurut istilah ulama ushul fiqh ialah: Suatu lafal yang menunjuk kepada banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya menghabiskan dan meliputi seluruh satu-satuannya itu. Baik dalalah itu berdasarkan lafal dan maknanya seperti bentuk jamak, mislanya; ka al-rijal merupakan lafal yang umum, karena menunjuk kepada seluruh laki-laki tanpa yang tersisa, sesuai dengan kelayakan arti yang diciptakan untuknya, maupun berdasarkan maknanya saja, seperti kata; al-qawn, dan al-jinn.   Adapun yang dimaksudkan,”tidak terbata” ialah bahwa pada lafal itu tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan pembatasan jumlahnya, meskipun dalam kenyataannya, satuan-satuannya terbatas, seperti kata al samawat (langit) yang jumlahnya terbatas. Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi sengan jumlah tertentu[1]
B.        Bentuk-bentuk Lafaz ‘Amm
Lafaz ‘amm mempunyai beberapa bentuk yang secara hakiki diperuntukkan baginya, yakni sebagai berikut:
a.    Lafaz  كل  - kulli (setiap / tiap-tiap)  dan جامع  - jami’ (seluruhnya / segala). Misalnya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ:
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya; “Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
b.  Kata benda tunggal (lafaz mufrad) yang di ma’rifatkan dengan alif-lam yang dipergunakan untuk memakrifatkan jenis. Contoh:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27). Lafaz  al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam.
c. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya yang dipergunakan untuk memakrifatkan jenis, dan bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah   Seperti:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Artinya: “Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi  orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)

Contoh lain al-muhsanatu (wanita-wanita yang bersuami), al-mutallaqatu (wanita-wanita yang ditalak). Contoh bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhafah adalah amwalakum (harta-hartamu).
d.Isim Mawsul (kata sambung). Seperti ma, al-ladzina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api  sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. Isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan, seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
Artinya : “dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafy (negatif), nahy (larangan) atau syarat  seperti kata  لَا جُنَاح dalam ayat berikut:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ..…..
Artinya: “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10) [2]
C.  Macam-macam Lafaz ‘Amm
Melihat bentuk lafadz di atas, dapat diambil bahwa lafadz yang menunjukkan arti umum ada 3 macam, di antaranya adalah:
a.    Lafaz umum yang dikehendaki keumumannya secara pasti, yaitu lafaz-lafaz umum yang disertai qarinah (tanda). Lafaz ‘amm yang yang tidak mungkin bisa  ditakhsis. Misalnya:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya : ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.(Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b.    Lafaz ’amm yang dimaksud secara qathi’ khusus, yaitu didampingi dengan qarinah yang menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagian dari satuan-satuannya. Lafaz ’amm yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya.
Contohnya:

مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ         
            Artinya : Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
            Penduduk Madinah dan orang-orang Badui disekitarnya adalah lafaz yang umum, namun yang dimaksudkan adalah khusus orang-orang kaya dan mampu dikalangan kedua itu. Sebab orang yang tidak mampu tidak mungkin sanggup untuk keluar menyertai Nabi SAW dalam peperangan, karena tidak memiliki bekal yang mutlak diperlukan dalam peperangan.

c.Lafadz ‘amm yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis. Contoh:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqatu (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
D. Macam-macam ‘amm
‘Amm terdiri atas 3 macam :
1. ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al-‘amm al-baqi’ ‘ala ‘umumih). Qadi Jalaludin al-Baqini mengatakan,’amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satu pun lafaz ‘amm kecuali didalamnya terdapat takhsis(pengkhususan). Tetapi Zakarsyi dalam al-Burhan mengemukakan, ‘amm demikian banyak terdapat pada al-Qur’an.
2. Amm yang dimaksud khusus (al-‘amm al-murad bihi al-khusus)
3. ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhsus)

Perbedaan antara al-’Amm al-murad bihil khusus dengan al-‘Amm al-makhsus dapat dilihat dari beberapa segi,antara lain :
a). Yang pertama tidak dimaksudkan untuk mencakup semua satuan atau individu yang dicakupnya sejak semula, baik dari segi cakupan makna lafaz atau dari hukumnya. Lafaz tersebut memang mempunyai individu-individu namun ia digunakan hanya untuk satu atau lebih individu. Sedang yang kedua dimaksudkan untuk menunjukkan makna umum,meliputi semua individunya, dari segi cakupan makna lafaz,tidak dari segi hukumnya.
b). Yang pertama adalah majaz secara pasti,karena ia telah baralih dari makna aslinya dan dipergunakan untuk sebagian satuan-satuannya saja.Sedang yang kedua ,menurut pendapat yang lebih shahih adalah hakikat. Inilah pendapat sebagian besar ulama’ Syafi’i,mayoritas ulama’ Hanafi dan semua ulama’ Hambali,Pendapat ini dinukil pula oleh Imam Haramain dari semua fuqaha’,Menurut Abu Hamid al-Ghazali,pendapat tersebut adalah pendapat mazhab Syafi’i dan pendapat murid-muridnya,dan dinilai shahih oleh as-Subki. Hal ini dikarenakam jangkauan lafaz kepada sebagian maknanya yang tersisa,sesudah dikhususkan,sama dengan jangkauannya terhadap sebagian makna tersebut tanpa pengkhususan.Oleh karena jangkauan lafaz seperti ini bersifat hakiki menurut konsensus ulama, maka jangkauan seperti itu pun hendaknya dipandang hakiki pula.
c). Qarinah bagi yang pertama pada umumnya bersifat ‘aqliyah dan tidak pernah terpisah,sedang qarinah bagi yang kedua bersifat lafziyah dan terkadang terpisah.[3]
E. Lafaz Khash

1.    Definisi Lafaz Khash
            Khash merupakan lawan kata dari  ‘amm, yakni lafaz yang diungkapkan untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.  Kata Khash berasal dari kata khashsha yang berarti mengkhususkan dan menetukan. Khash berarti sesuatu yang khusus dan tertentu peruntukannya. Dalam bahasa Indonesia, kata ini telah masuk dalam bahasa yang diserap misal khas Jawa, tarian khas Bali, dan lain sebagainya. Demikian pula kata khusus.

            Menurut Abdul Wahab Khallaf Lafaz Khash ialah lafaz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya. 

Mustafa Said al-Khin memberikan definisi al-Khas sebagai berikut:

الخَاصُ فَكُلُّ لَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنًى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى الْأَفْرَاد وَهُوَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ خُصُوْصَ الْجِنْسِأَوْخُصُوْصَ النَّوْعٍأَوْ خُصُوْصَ الْعَيْنِ
“al-khas ialah suatu lafal yang digunakan untuk menunjukan satu pengertian tertentu atau khusus yang secara langsung dapat dipahami, baik segi jenis dan macamnya maupun segi subtangsinya: seperti manusia dan orang laki-laki”. Sementara imam al-Syaukani, dalam kitab Irsyad al-Futuh, menjelaskan bahwa yang disebut dengan al-khas adalah suatu lafal yang menunjukan kepada satu sebutan saja.   Dengan kata lain al-khas itu pengertiannya sudah terbatas pada aspek tertentu yang secara khusus memang disebutkan.

2.    Karakteristik Lafaz Khash dan Macam-macamnya.

Suatu lafaz nash dikatagorikan kepada khas, bila lafaz tersebut diungkapkan dalam bentuk atau karaktristik berikut ini:
a.    Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam satu kalimat
b.    Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang
c.    Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofah.

Dari ketiga ciri atau karaktristik diatas dapat dipahami bahwa lafaz khas menunjukan makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafaz-lafaz seperti karaktristik diatas, maka digolongkan pada al-khas.

Mengenai macam-macam lafaz Khas, sesuai dengan keadaan dan sighat yang dipergunakan untuk mengungkapkan. Adakalanya lafaz yang khusus mengambil bentuk sebagai lafaz yang mutlak, dan adakalanya pula datang dalam bentuk muqayyad. Terkadang ia datang dalam bentuk perintah, dan terkadang pula ia datang dalam kalimat larangan.
  • Berbentuk muthlak yaitu lafaz khas yang tidak ditentukan dengan sesuatu. Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
  • Berbentuk khas (muqoyyad) lafaz khas yang ditentukan dengan sesuatu. Contohnya, masalah bersuci.
  • Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau  berbentuk khabar, dan hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
  • Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.
F. Dalalah Lafaz Khash
            Pertanyaan yang muncul apakah dalalah khash mengandung petunjuk qhat’i, bukan dzanny, kecuali ada dalil yang memalingkan kepada arti lain. Wahab Khallaf menyatakan bahwa hukum khash berbentuk global apabila terdapat nash syar’I yang menunjukkan dalil qathi’, terhadap arti khash yang ditempatkan bagi hakiki. Dan menetapkan hukum yang untuk menunjukan kepada jalan qathi’, bukan dzan.
            Imam Muhammad Abu Zahra, bahwa dalalah lafaz khash adalah qhat’i (jelas, tegas). Menurut Zahra hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Demikian juga yang di jelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa lafaz khash menunjukan kecuali ada dalil lain yang mengubahnya.
            Hal tersebut menunjukkan bahwa dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Artinya:” Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
            Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
            Selanjutnya lafaz yang khusus dapat ditakwilkan, jika ada dalil yang menghendaki pemalingan makna yang khusus itu kepada makna lain yang masih dimungkinkannya.
Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
            Artinya: “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”. Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafaz khas. Karena kedua lafaz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
            Dengan demikian, dalalah lafaz tersebut adalah qath’i. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan. [4]
G. TAKHSHISH
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan lafal Amm dari ketentuan lafal (dalil) Amm dimana lafal Amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan). Takhshis memisahkan sebagian yang terkandung dalam jumlah arti umum. Dengan kata lain bahwa takhshis itu ialah perkecualian yang ditunjukakan kepada Amm.
H. PERBEDAAN TAKHSHIS DENGAN NASAKH
1. Takhshis ialah membatasi jumlah Afradul amm, sedang nasakh ialah membatalkan hukum yang telah ada dan diganti dengan hukum yang baru (tabdil).
2. Takhshis (mukhashsish) bisa dengan kata-kata qur'an dan hadis dengan dalil-dalil syara' yang lain seperti ijma' Qiyas juga dengan dalil akal. Sedangkan Nasakh hanya dengan kata-kata saja.
3. Takhsis hanya masuk kepada dalil Amm  Nasakh bisa masuk kepada dalil amm maupun dalil khaskh.
4. Takhshis masuk kepada hukum berita-berita. Nasakh hanya masuk kepada hukum saja. Membatalkan berita-berita dusta.
I. TAKHSHIS QUR'AN DENGAN QUR'AN
Takhshish qur'an dengan qur'an dapat terjadi, sebab semua nash qur'an adalah pasti (qath'i) apabila berbeda dua dalil yang satu Amm dan yang satu Khas maka harus dikumpulkan kedua-duanya dengan menggunakan dalil Amm bagi hal-hal yang tidak termasuk dalam dalil khash serta menggunakan dalil khash pada tempatnya sendiri.
Didalam al-qur'an yang berhadap-hadapan ialah dua dalil yang Amm semua dimana yang satu lebih khusus dari pada yang lainnya baik itu secara muthlaq atau dari satu segi saja. Kedua-duanya dalil am dan khas digunakan baik diketahui atau tidak diketahui mana yang dulu dan mana yang kemudian.
Contoh ayat pertama yang artinya : “Isteri-isteri yang diceraikan hendaklah berdiam diri(beriddah) tiga kali suci,” (QS Al-Baqarah 228)
Contoh ayat kedua yang artinya : “Apabila kamu kawin dengan perempuan-perempuan mukmin,kemudian terus kamu cerai sebelum bercampur(bersetubuh) dengannya,maka tidaklah perempuan itu beriddah yang kamu hitung-hitung. (Al-ahzab,49)
Ayat pertama berlaku umum terhadap isteri-isteri yang sudah diceraikan atau tidak. Ayat belum pernah dikumpul. Meskipun ayat kedua umum tetapi lebih khass bila dibandingkan dengan umumnya ayat yang pertama. Karena itu disebut jufa mengtakhsiskan juga ayat yang pertama.[5]
J. TAKHSHISH QUR'AN DENGAN HADITS
Rasulullah saw menjelaskan apa yang dikehendaki Qur'an. Kalau perkataan rasul mentashishkan keumumannya Qur'an atau membatasi muthlaknya Qur'an, maka yang dikehendaki Qur'an ialah yang ditakhsish rasul yang dikehendaki dengan muthlaqnya, ialah apa yang telah dibatasi pada mulut rasul. Hadits Rasul dapat dibagi dua yaitu :
1. Mutawatir
2. Ahaad
Para ulama ushul telah sepakat bahwa hadits mutawatir bisa mentakhsishkan qur'an sebab hadits mutawatir adalah dalil yang qath'i pula.
Mengenai hadits ahaad ulama ushul berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak dapat mentakhsishkan Qur'an. Dan ada yang mengatakan dapat. Yang pertama adalah golongan Hanafiah dan yang kedua adalah pendapat jumhur ulama ushul. Alasan yang tidak membolehkan karena hadits ahad yang bersifat Zhanni (dugaan). Dan yang mereka mengatakan bahwa hadits ahad dapat mentakhshiskan Qur'an alasannya ialah bahwa para sahabat Nabi mentakhsishkan keumumannya Qur'an dengan hadits.
K. TAKHSHISH DENGAN IJMA'
Takhshish dengan ijma' juga telah disepakati bolehnya, artinya dengan perantaran ijma' dapat diketahui bahwa yang dikehendaki dengan lafal amm ialah sebagian dari pada apa yang termasuk didalam lafal Amm tersebut.
L. TAKHSHISH DENGAN QIYAS
Kadang-kadang datang dari syara' suatu dalil yang amm kemudian tersebut mempunyai hukum yang berbeda dari satuan dari satuan-satuan lainnya. Hukum ini diambil dari qiyas.
M. TAKHSHIS DENGAN MAZHAB (PENDAPAT) SAHABAT
Ada hadits yang bersifat umum kemudian ada pendapat sahabat yang mentakhshishkan, menurut jumhur ulama ushul tidak dapat diterima. Menurut golongan Hanafiyah dapat diterima apabila sahabat itu tidak diriwayatkan hadits yang ditakhshiskhannya.[6]
N. Macam-macam Takhsis
Ditinjau dari pandangan jumhur ulama ushul fiqh, maka takhsis dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.    Takhsis muttashil, yakni takhsis yang dalil mentakhsisikan merupakan  bagian dari nash yang menyebutkan lafaz umum itu. Takhsis ini terdiri dari beberapa macam yakni :
1)    Istitna pengecualian  (الا )seperti :
…… Kecuali jika muamalah kamu itu perdagangan itu tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menuliskannya (QS Al-Baqarah :282)
2)    Syarat (ان) seperti:
……….. Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi, maka tidak mengapa kamu mengkasar sembahyang, jika kamu takut diserang orang-orang kafir (QS An-Nisa : 101).
3)    Menambahkan kata keterangan sifat, seperti :
من نسا ء كموالتي د خلتكموبهن …
“ Dari istri kalian yang telah digauli” Surat An nisa’ 23.
4)    Alghooyah,(الي-حتي) – batas akhir, seperti :
وايد يكم الى المر افق….
“(dan basuhlah) tangan-tangan kalian sampai kesiku” (QS. Al-Maidah: 6)
b.  Takhsis munfashil, dalil pentakhsisannya tidak merupakan bagian dari nash yang lafaznya umum. Ini disebut juga takhsis mustaqil (berdiri sendiri atau terpisah).






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amm dalam bahasa arab berarti: Peliputan sesuatu terhadap sesuatu yang berbilang, baik sesuatu ini merupakan lafal atau lainnya. Adapun Amm menurut istilah ulama ushul fiqh ialah: Suatu lafal yang menunjuk kepada banyak satuan yang tidak terbatas, yang dalalahnya menghabiskan dan meliputi seluruh satu-satuannya itu.Khash merupakan lawan kata dari  ‘amm, yakni lafaz yang diungkapkan untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.  Kata Khash berasal dari kata khashsha yang berarti mengkhususkan dan menetukan. Khash berarti sesuatu yang khusus dan tertentu peruntukannya. Dalam bahasa Indonesia, kata ini telah masuk dalam bahasa yang diserap misal khas Jawa, tarian khas Bali, dan lain sebagainya. Demikian pula kata khusus.
            Menurut Abdul Wahab Khallaf Lafaz Khash ialah lafaz yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-laki, atau beberapa satuan yang bermacam-macam dan terbatas, seperti tigabelas, seratus, kaum, golongan, jama’ah, kelompok,dan lafal lain yang menujukkan jumlah satuan atau tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.
           
Takhshish ialah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan lafal Amm dari ketentuan lafal (dalil) Amm dimana lafal Amm tersebut hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada (yang tidak dikeluarkan). Takhshis memisahkan sebagian yang terkandung dalam jumlah arti umum. Dengan kata lain bahwa takhshis itu ialah perkecualian yang ditunjukakan kepada Amm.







DAFTAR PUSTAKA
Mudzakir.2002. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Surabaya: litera antarnusa.
Abduh Ahmad.2002. Ushul Fiqih. Pasuruan: PT Garoeda Buana Indah.
Sanusi Ahmad, Sohari. 2015. Ushul Fiqih. Depok: PT Rajagrafindo Perseda.


















DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3  Tujuan penulisan............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.................................................................................................................. 3
B.................................................................................................................. 3
C.................................................................................................................. 4
D.................................................................................................................. 5
E................................................................................................................... 9
F................................................................................................................... 10
G.................................................................................................................. 11
H.................................................................................................................. 11
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 14





[1] Dr.H.Ahmad Sanusi,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta:PT.Rajagrafindo,2015)hlm.221
[2] Dr.H.Ahmad Sanusi,M.A,Ushul Fiqh,(Jakarta:PT.Rajagrafindo,2015)hlm.222-226

[3] Mudzakir AS,Studi ilmu-ilmu al-qur`an(Surabaya:Litera antar nusa,2002)hlm.318
[5] Ahmad Abduh, ushul fiqih(Pasuruan:PT.Garoeda Buana Indah,2002)hlm.167-168
[6] Ahmad Abduh, ushul fiqih(Pasuruan:PT.Garoeda Buana Indah,2002)hlm.173-174

Komentar